JC. 04

27.5K 1.8K 38
                                    

Hari ini, Zavian dan teman-temannya bersiap untuk pertandingan basket melawan kelas sebelah. Di lapangan, mereka sudah berkumpul, masing-masing mengenakan seragam olahraga.

Arka, yang menjadi kapten tim, memberikan instruksi dengan tegas. “Kita main yang rapi. Jangan terlalu terburu-buru.”

Zavian mengangguk, merasa cukup percaya diri. Meskipun ini tubuh orang lain, dia masih punya skill basket dari dunia aslinya.

Di pinggir lapangan, Fiona dan beberapa teman sekelas lainnya terlihat bersorak untuk mendukung mereka. “Ayang, semangat! Menangin buat aku ya!” teriak Fiona sambil melambaikan tangan penuh semangat.

Zavian hanya menghela napas, merasa sedikit terganggu dengan sorakan berlebihan Fiona, tetapi tetap berusaha fokus pada pertandingan.

Dengan gerakan lincah, Zavian berhasil menguasai permainan. Setiap kali dia mengoper atau memasukkan bola ke dalam ring, sorakan semakin histeris dari teman-teman sekelasnya. Keringat mengalir di wajah dan tubuhnya, memberikan kesan maskulin yang semakin menonjol.

“Gila, Zav makin jago aja,” gumam Tama sambil kagum.

Di tribun, Fiona tampak tidak bisa mengalihkan pandangannya. Matanya berbinar melihat Zavian. “Ayangku keren banget!” serunya, membuat beberapa temannya cekikikan karena begitu lebay.

Kemenangan itu akhirnya diraih oleh kelas Zavian. Tak heran, mengingat sebagian besar anggota tim basket memang berasal dari kelas mereka, IPS 4.

“Keren lo berdua,” puji Ravin kepada Zavian dan Arka, yang tersenyum puas setelah permainan.

"Arka, buat kamu," tiba-tiba Amira datang sambil membawa sebotol air mineral.

Arka mengambilnya membuat Amira tersenyum senang, namun senyum Amira seketika luntur saat Arka malah menyerahkan botol itu pada Zavian.

"Katanya lo haus," ucap Arka sambil melemparkan botol minum itu pada Zavian.

"Thanks, tapi gue nggak butuh!" Zavian balas melempar botol itu kepada Tama.

"Anjirlah," gerutu Tama, kesal karena merasa belum siap menerima lemparan tersebut.

Zavian pergi, memutuskan untuk ke kantin dan membeli minum sendiri.

Di belakangnya, Arka menatap tajam ke arah Amira, suaranya dingin. "Gak usah ganggu gue. Gue gak suka lo. Lo juga tenang aja, Zav gak akan gangguin lo lagi. Jadi, jangan caper sama kita," tekan Arka sebelum berbalik dan pergi menyusul Zavian.

Amira hanya bisa terdiam, terpukul oleh kata-kata tajam itu.

"Arka gak suka sama lo, Zav juga udah move on. Gue harap lo jauh-jauh dari mereka, gue cuma gak pengen mereka ribut lagi gara-gara cewek," ucap Raka.

"Lo bisa cari cowo lain yang suka sama lo, Arka bilang dia udah punya cewek," tambah Ravin.

Lalu mereka ikut menyesal teman-temannya.

Para murid yang mendengar percakapan itu terkejut. Mereka tercengang mendengar kabar bahwa Zavian sudah move on dari Amira. Bagi mereka, itu adalah hal yang mustahil, mengingat betapa tergila-gilanya Zavian dulu pada Amira. Tapi kenyataan berkata lain  Zavian telah benar-benar melupakan gadis itu.

Amira mengepalkan tangannya.

Zavian duduk bersama teman-temannya di kantin.

"Sore sebelum balapan, ke apartemen Arka yuk," ajak Tama.

"Boleh, gue gabut soalnya," balas Ravin.

"Gue ngikut aja," ucap Raka.

"Gue gak bisa," sahut Zavian, membuat semuanya langsung menatapnya heran.

"Kenapa?" tanya Arka.

"Gue kerja," jawab Zavian singkat.

Semua terdiam, menatap Zavian dengan tatapan tak percaya.

"What? Lo kerja?" Tama tampak terkejut, diikuti ekspresi kaget yang sama dari yang lain. Mereka tidak pernah tahu Zavian punya pekerjaan.

Zavian asli memang bekerja di bengkel milik pamannya. Tapi, ia selalu merasa gengsi untuk membicarakannya pada teman-temannya, terutama jika Arka sampai tahu. Sebagai saingan cintanya dalam merebut hati Amira, Arka sering kali membuat Zavian merasa rendah diri. Sementara Arka berasal dari keluarga yang cukup berada, Zavian hanya punya pekerjaan di bengkel sederhana. 

"Hm," Zavian hanya berdehem.

Karena di dunia aslinya, Bia seorang gadis yang berasal dari keluarga kaya merasa tidak keberatan dengan kondisi Zavian. Dia akan menikmati hidupnya dengan tenang sebelum kembali. Dia hanya menunggu ending kan?

"Dimana?" tanya Raka penasaran.

"Bengkel paman," jawab Zavian singkat.

"Kenapa baru cerita? Sejak kapan?" Ravin bertanya, terlihat terkejut.

Zavian menghela napas. "Gak sempet aja cerita. Lagian baru dua bulan. Gue butuh buat kuliah. Kalian tau sendiri, gue gak mungkin dapet beasiswa. Udah cukup gue bikin ibu gue susah," balasnya.

Semua temannya terdiam mendengar pengakuan Zavian.

"Biar gue bantu soal biaya kuliah lo," sahut Arka.

'Aneh, sejak kapan dia peduli sama ibunya?'

"Lo gak usah kerja," tambahnya, menatap Zavian dengan serius.

"Enggalah," Zavian menggeleng cepat. "Gue mau usaha sendiri."

Raka menepuk bahu Zavian. "Biarin aja, Ar. Kita kasih support buat Zav, biar dia bisa mandiri," katanya. 

"Gue suka perubahan lo," sahut Raka.

"Masih gak nyangka gue, Zav. Kayaknya lo ketempelan deh, beda banget lo sekarang!" celetuk Tama, sambil menyipitkan mata seolah mencoba membaca pikiran Zavian.

Zavian hanya mengangkat bahu. "Emang kenapa? Gak boleh berubah, gitu?" balasnya ringan.

"AYANGKKUUU!" Teriakan itu sudah jadi rutinitas di telinga mereka.

"Berisik, Fio!" tegur Raka, jelas-jelas kesal.

"Bodo amat, gue mau ketemu ayang gue!" balas Fiona santai, menggeser tubuh Raka dan langsung duduk di sebelah Zavian, membuat semua orang menghela napas.

Zavian hanya bisa mengusap wajahnya, frustasi dengan tingkah Fiona yang tak kenal lelah mengejarnya.

Arka berdecak kesal. "Lo ganggu! Pergi," titahnya.

"Enggak, jangan pisahin gue sama Zav!" Rengeknya sembari memeluk lengan Zavian. 

"Lepas!" Pinta Zavian.

"Enggak mau!" Kekeh Fiona.

Zavian menyentak tangan Fiona dengan kasar. "Jangan sentuh gue! Gue gak suka," kesalnya.

"Terus sukanya apa?" Tanya Fiona dengan wajah cemberut.

"Lo jauh-jauh dari gue," balas Zavian.

"IHHH AYANGGGGG!"

"Sinting," dengus Tama.

_________

JADI COWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang