16

170 13 0
                                    

French memandangi apartemen Zara dari balik kaca mobilnya, kedua matanya tajam, sorotnya tak pernah lepas dari jendela di lantai atas. Cahaya samar-samar masih menyala, pertanda Zara belum tidur. Dia pasti memikirkan kunci itu sekarang, pikirnya. Sebuah senyum tipis—penuh rahasia dan kepastian—terbentuk di bibirnya. “Kau bisa membuangnya kalau mau, Zara,” gumamnya pelan, suara beratnya hampir tenggelam dalam heningnya malam. “Tapi itu takkan mengubah apa-apa. Kau sudah memilikinya. Kau sudah memiliki aku.”

Ia membiarkan kepala bersandar ke sandaran kursi mobil, mencoba mengatur napasnya yang berat. Tapi tenang itu sulit didapat. Sosok Zara terus berputar di kepalanya—cara Zara menatapnya dengan kebingungan, kemarahan, ketakutan.

"Aku gila?" French menyeringai kecil, suaranya serak ketika berkata pada dirinya sendiri. "Kalau mencintaimu dengan cara ini disebut gila, maka aku memang gila. Dan aku tak peduli."

Bayangan pagi tadi menyergap pikirannya— Hal kecil yang bagi Zara mungkin sepele, tetapi bagi French, itu seperti pisau tajam yang menusuk perlahan ke dadanya. Pria lain yang mencoba mendekati Zara—bahkan sekadar menawarkan menu—tidak bisa diterima. Tidak oleh French.

"Dia tidak tahu apa-apa tentangmu," desisnya pelan, wajahnya kembali serius. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, berusaha menahan sesuatu yang meledak-ledak dalam dirinya. “Tidak seperti aku, Zara. Tidak ada yang bisa mengenalmu seperti aku.”

French kembali mengingat bagaimana Zara dulu—sebelum semuanya menjadi rumit. Tawa kecilnya, sorot mata lembutnya yang dulu hanya miliknya. French mungkin terlalu dalam sekarang, tapi ia tak mungkin keluar. Gadis itu telah menciptakan ketergantungan yang tak bisa ia lepaskan. Zara adalah candu, dan French adalah pria yang tidak tahu bagaimana caranya berhenti.

Ia memejamkan mata, membayangkan saat Zara membuka kotak tadi. Liontin perak berbentuk kunci—kecil, sederhana, tapi dengan makna yang tak bisa diabaikan. French sendiri yang merancangnya, memastikan setiap lekuk dan ukiran inisial “Z” sempurna. Itu bukan hadiah biasa; itu simbol dari sesuatu yang jauh lebih dalam. Kunci itu untuk Zara—karena ia telah memiliki seluruh dirinya, seluruh keberadaan French.

"Tidak ada yang bisa menggantikanmu, Zara," bisiknya pelan, matanya kembali terbuka, tatapan tajam itu menembus kegelapan malam.

Ia mengingat tatapan Zara pagi tadi—saat ia marah, terluka, dan kemudian pergi. Tapi ia selalu kembali. Itu sifatnya. French tidak tahu bagaimana caranya menyerah. Bahkan jika Zara memanggilnya gila, bahkan jika Zara membencinya. French akan terus berdiri di sana, menunggu. Dia miliknya. Bahkan jika dunia menolak memahaminya.

Dulu, French pernah menjadi seseorang yang berbeda. Seseorang yang lebih tenang, lebih terkendali. Tapi Zara mengubah segalanya. Gadis itu datang, mencuri hatinya, dan pergi seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tapi tidak bagi French. Ia tidak bisa melanjutkan hidup seolah Zara tak pernah ada. Gadis itu meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus.

“Kau boleh menolak semua ini,” ujar French lagi, kali ini suaranya lebih tenang, tetapi lebih gelap, lebih dalam. “Tapi kau tidak akan bisa menghapusku, Zara. Aku sudah ada di sana—di kepalamu, di setiap langkah yang kau ambil.”

French menatap arlojinya sekilas sebelum kembali memandang jendela apartemen Zara. Lampu itu masih menyala. Ia bisa membayangkan betapa bingungnya Zara sekarang, betapa frustrasinya gadis itu menghadapi perasaannya sendiri.

French akhirnya menyalakan mesin mobilnya, tetapi ia tidak pergi. Tidak sekarang. "Kau akan mengerti suatu hari nanti, Zara," gumamnya pelan, penuh keyakinan. "Suatu hari kau akan berhenti berlari. Dan saat itu tiba, aku akan ada di sana. Selalu."

Ia menatap apartemen itu sekali lagi sebelum memutar setir dan pergi—tapi bukan untuk menyerah. Tidak pernah untuk menyerah. Karena Zara miliknya. Dan apa yang menjadi miliknya tidak akan pernah ia lepaskan.

***

PLEASE LOVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang