Zara menatap papan skor treadmillnya, mencoba mengatur napas setelah menyelesaikan lari 5 km. Tubuhnya berkeringat deras, tapi rasa puas dari pencapaian itu mulai menguap begitu suara berat yang terlalu dikenalnya terdengar.
“Lima kilometer dalam tiga puluh menit? Kau bisa lebih baik dari itu,” suara French muncul dari belakangnya.
Zara berbalik, mendapati French berdiri dengan kaus hitam tanpa lengan, botol air di tangannya, dan ekspresi yang membuatnya ingin melempar sesuatu ke arahnya. “French, apa yang kau lakukan di sini? Jangan bilang kau ke sini hanya untuk mengganggu latihanku.”
French berjalan mendekat, menyandarkan tubuh pada pegangan treadmill. “Aku juga latihan, tentu saja. Tapi aku tidak bisa diam melihat seseorang dengan potensimu membuang waktu seperti ini.”
Zara menghela napas panjang, menekan tombol untuk mematikan treadmill. “Aku punya programku sendiri, dan sejauh ini, itu berhasil. Tidak butuh komentarmu.”
French menyeringai. “Oh ya? Kalau itu berhasil, kenapa kau terlihat seperti ingin pingsan setelah hanya 5 km? Kau butuh variasi, Zara, bukan hanya kardio. Kau ingin lebih kuat, bukan?”
Zara melipat tangan di dada, menatapnya tajam. “Dan kau pikir kau tahu segalanya? Aku cukup kuat untuk menjalani programku.”
“Buktikan.”
Kata itu membuat Zara terdiam sejenak. Ia tahu French sengaja memancingnya, tapi rasa ingin membuktikan diri mengalahkan logikanya. “Baiklah. Apa yang kau sarankan?”
French tersenyum puas. “Ayo ke rak barbel. Aku akan tunjukkan cara melatih kekuatan dengan benar.”
Mereka berjalan ke area angkat beban, dan French mulai memasang beban pada barbel. Ia memilih 20 kg di setiap sisi, lalu berdiri di belakang Zara dengan santai.
“Deadlift. Mulai dari sini. Aku akan memastikan posisimu benar.”
Zara menatap barbel itu skeptis. “Itu terlalu berat.”
French tertawa kecil. “Kau lebih kuat dari yang kau kira, percayalah"
Dengan rasa ragu, Zara mengambil posisi, mendengarkan instruksi French. Ia membungkuk, menggenggam barbel, lalu menariknya ke atas. Otot-ototnya menegang saat ia berdiri tegak dengan beban itu.
“Lihat? Aku bilang kau bisa,” ujar French sambil tersenyum puas.
Namun, saat Zara menurunkan barbel, kakinya sedikit gemetar. Punggungnya melengkung tanpa sengaja, dan tiba-tiba rasa sakit yang tajam menjalar dari punggung bawahnya ke seluruh tubuh. Zara meringis, kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan barbel dengan suara berdebam keras di lantai gym.
“Zara!” French langsung bergerak mendekat, memegang pundaknya dengan kedua tangan untuk menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.
Zara memegang punggung bawahnya, wajahnya menegang menahan rasa sakit. “Aku... aku tidak bisa berdiri tegak. Ini sakit sekali, French.”
Wajah French yang biasanya penuh percaya diri berubah serius, bahkan sangat panik. Ia menatapnya dengan cemas, lalu berkata dengan suara tegas, “Duduk dulu..”
French membantu Zara duduk di bangku dekat rak dumbel, lalu berlutut di depannya. “Di mana sakitnya? Punggung bawah?”
Zara mengangguk, mencoba menarik napas dalam, tapi rasa nyeri membuatnya sulit. “Aku sudah bilang beban itu terlalu berat. Kau memaksaku, French.”
Wajah French berubah, rasa bersalah jelas terlihat di matanya. “Sial. Aku seharusnya lebih berhati-hati. Maaf.” Ia sangat jarang meminta maaf. Jarang sekali hingga ia lupa kapan terakhir kali.
“Ini bukan waktunya untuk meminta maaf,” jawab Zara pelan, suaranya masih terdengar kesakitan. “Aku tidak bisa berjalan seperti ini. Apa kita bisa ke klinik?”
Tanpa berpikir panjang, French berdiri dan menawarkan tangannya. “Ayo, aku akan membawamu ke sana sekarang.”
“Aku tidak bisa berjalan sendiri,” jawab Zara dengan frustrasi.
“Siapa bilang kau harus berjalan?” French menjawab sambil menunduk dan mengangkatnya dengan hati-hati ke dalam gendongannya. “Diam saja. Aku yang urus semuanya.”
Zara tidak punya pilihan lain selain membiarkan French membawanya keluar dari gym. Orang-orang di sekitar mereka menatap, tapi French tidak peduli. Wajahnya serius, dan langkahnya mantap saat membawa Zara ke mobilnya yang terparkir di luar.
Dalam perjalanan ke klinik, suasana di dalam mobil terasa hening. French melirik Zara yang bersandar dengan hati-hati di kursi penumpang, mencoba menahan nyeri.
“Aku benar-benar minta maaf,” ucapnya tiba-tiba, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Zara menoleh sedikit, ia tak menjawab. Ia tahu jika ini bukan sepenuhnya salah pria itu. Dia juga yang setuju untuk mencoba.
"Aku janji. Kau tidak akan terluka lagi karena aku.”
Saat mereka sampai di klinik, French langsung melaporkan keadaan Zara ke resepsionis. Tak lama kemudian, Zara dibawa ke ruang pemeriksaan, sementara French menunggu di luar dengan gelisah.
Setelah beberapa waktu, dokter keluar dan memberi tahu French bahwa Zara mengalami ketegangan otot punggung bawah akibat beban yang terlalu berat, tapi tidak ada cedera serius. French merasa lega mendengar kabar itu, meski rasa bersalahnya belum hilang sepenuhnya.
Saat Zara keluar dari ruang pemeriksaan, ia berjalan perlahan dengan bantuan French. “Aku akan baik-baik saja setelah beberapa hari istirahat, katanya,” ujar Zara, mencoba terdengar tenang meski langkahnya masih kaku.
French menghela napas panjang. “Kau tetap harus hati-hati. Dan aku akan memastikan kau tidak menyentuh beban apa pun sampai kau benar-benar pulih.”
Zara menatapnya sekilas. “Kau terdengar seperti babysitter sekarang.”
“Kalau itu artinya kau tidak terluka lagi, aku tidak peduli kau mau sebut aku apa,” balas French sambil membantu Zara masuk kembali ke mobil.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
PLEASE LOVE ME
Cerita Pendek"Kau pikir aku akan menyerah? No.." French mengepalkan tangannya emosi ketika melihat Zara sedang bersama mantannya. "Gadis kecil.. kau harus bertanggung jawab. Kau sudah membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya." Start : 27 Juni 2022