22

137 10 0
                                    

"Dasar pria gila!" gumamnya sambil memukul punching bag dengan keras. Dentuman pukulannya menggema di ruangan kosong itu. Gym sedang sepi sore itu, dan Zara memanfaatkannya untuk melampiaskan kekesalannya.

Ia memukul lagi, lebih keras, membayangkan wajah French di depan matanya. "Berani-beraninya dia muncul begitu saja! Bertingkah seolah-olah aku harus menerima kehadirannya," gerutunya, diiringi pukulan berulang-ulang.

Setiap kali memukul, ia merasa sedikit lebih tenang, meskipun bayangan French dan kata-katanya masih berputar di kepalanya.

Zara menggeram pelan, membuang napas panjang sebelum kembali melayangkan pukulan. "Dia terlalu percaya diri. Dia pikir dia siapa?"

Namun, di balik kemarahan itu, ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Tatapan French—tatapan yang penuh keyakinan dan intensitas—masih terbayang jelas di benaknya. Itu membuatnya semakin frustrasi. "Apa dia benar-benar yakin seperti itu? Atau dia hanya ingin bermain-main denganku?"

Setelah beberapa menit, pukulannya melambat. Zara menurunkan sarung tinjunya, memegangi sisi punching bag sambil mengatur napas. Tubuhnya basah oleh keringat, dan meskipun emosinya sedikit mereda, pikirannya masih berantakan.

Ia mengambil botol air dan duduk di bangku, membungkuk sedikit sambil menyeka keringat dari dahinya. "Aku tidak akan membiarkannya mengendalikan aku seperti ini," bisiknya pada dirinya sendiri. "Dia harus tahu batasnya."

Tapi, jauh di dalam hati, ada suara kecil yang membuatnya tidak nyaman. Suara itu berbisik pelan, namun cukup kuat untuk membuatnya bertanya-tanya: Apa aku benar-benar tidak peduli padanya?

Zara menggeleng cepat, mencoba mengusir pikiran itu. Ia berdiri, menatap punching bag sekali lagi, seolah-olah itu adalah musuh yang harus ia kalahkan. "Tidak. Aku tidak akan membiarkan dia menang," gumamnya dengan tekad, sebelum kembali melanjutkan latihannya, kali ini dengan lebih banyak fokus dan energi.

***

"Zara, bagaimana kabarmu, nak?" suara berat dan lembut Dada-nya terdengar, penuh kehangatan yang khas.

Zara tersenyum kecil, meski tahu pembicaraan ini mungkin akan mengarah ke sesuatu yang lebih serius. "Aku baik, Dada. Baru selesai gym. Dada dan Mama bagaimana?"

"Kami baik-baik saja," jawab Dada. Namun, setelah jeda sejenak, ia menambahkan dengan suara yang sedikit lebih rendah, "Tapi kami rindu padamu, Zara."

Zara tertegun sejenak sebelum menjawab dengan nada lembut. "Aku juga rindu kalian, Dada."

Sekelebat ingatan pertengkaran waktu itu sudah tak membuatnya kesal lagi. Waktu itu ia ingin melanjutkan kuliah di Turki tapi tak diperbolehkan karena pendidikan di Amerika jauh lebih baik kualitasnya. Lalu ia memutuskan untuk bekerja saja karena ia marah tak diperbolehkan untuk dekat dengan kedua orangtuanya di Turki. Ia mengerti sekarang mungkin kedua orangtuanya menginginkan yang terbaik untuknya.

Tiba-tiba terdengar suara ceria Mamanya dari kejauhan, merebut ponsel dengan penuh semangat. "Zara sayang! Ini Mama! Bagaimana kau? Sudah makan belum? Jangan bilang kau lupa makan lagi!"

Zara terkekeh kecil. "Mama, aku baik-baik saja. Aku makan teratur. Jangan terlalu khawatir."

"Mama tidak percaya! Kalau Mama tidak ada untuk memastikan, pasti kau asal-asalan makannya. Kau pikir Mama tidak tahu anak sendiri?"

Zara tertawa kecil, merasa hangat mendengar candaan Mamanya. "Mama, serius, aku benar-benar baik. Aku makan dengan benar."

"Kami di sini merindukanmu, sayang. Sudah terlalu lama kita tidak bertemu. Rumah ini terasa kosong tanpamu. Kami ingin melihatmu, Zara sayang," ujar Mamanya, suaranya sedikit lebih lembut. "Mama ingin memelukmu, membuatkan makanan kesukaanmu, dan memastikanmu benar-benar sehat. Bagaimanapun kau masih kecil. Masih 19 tahun tak perlu berlatih mandiri kami selalu percaya jika putri Mama Dada kuat dan hebat."

Zara merasa hatinya sedikit tersentuh, tapi ia mencoba menyembunyikannya. "Mama, Dada, aku juga rindu kalian. Tapi aku benar-benar sibuk. Sulit mencari waktu sekarang."

Mamanya menambahkan dengan nada ceria untuk meringankan suasana. "Mama ingin kau mencicipi masakan baru Mama. Kau pasti lupa bagaimana lezatnya masakan Turki asli!"

Zara tertawa kecil, menggelengkan kepala meski mereka tidak bisa melihatnya. "Mama, aku selalu ingat. Aku rindu masakan Mama."

"Kalau begitu, kapan kau pulang, Zara sayang?" tanya Mamanya penuh harap.

Zara terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat. "Aku akan pikirkan, Ma, Dada. Aku janji akan cari waktu."

"Itu cukup untuk sekarang," ujar Dada, terdengar lega. "Tapi jangan terlalu lama, sayang. Rumah ini selalu menunggumu."

Setelah menutup telepon, Zara berdiri di bawah langit malam, merasakan campuran hangat dan rindu di hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia mulai berpikir untuk benar-benar meluangkan waktu dan kembali ke rumah, ke pelukan orang-orang yang mencintainya tanpa syarat.

Dan mungkin hal ini akan menyelesaikan urusannya dengan French, pria gila itu.

***

PLEASE LOVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang