13

24 2 0
                                    

"KENAPA KALIAN NEKAT BUAT MENGHADAPI PUTERA MAHKOTA, HUH?!" Suara Mafu menggelegar memenuhi aula pertemuan, membuat beberapa lilin yang menyala bergoyang pelan. Matanya yang biasanya lembut kini berkilat penuh amarah, menatap tajam kesembilan pangeran yang berlutut di hadapannya.


Salah satu dari mereka, dengan gemetar mencoba menjawab, "Euh... itu, tapi kan kita berhasil menang—"


"JANGAN ALASAN!" Mafu memotong dengan bentakan yang lebih keras, membuat beberapa burung yang bertengger di atap aula beterbangan kaget. "KALIAN MENANG, TAPI SEKARANG MEREKA TAHU WAJAH KALIAN!!"


Soraru, yang duduk paling depan dengan posisi seiza, mencoba menenangkan, "Mafu... sayang? Dengerin dulu ya?"


"SORARU-SAN DIEM!! INI JUGA IDEMU KAN?!" Mafu menunjuk tepat ke wajah Soraru, napasnya memburu dengan wajah memerah menahan amarah.


Di sudut ruangan, empat sesepuh yang sejak tadi menyaksikan drama ini memutuskan untuk beranjak pergi dengan tenang, masing-masing membawa secangkir teh hangat di tangan. Mereka sudah terlalu tua untuk terlibat dalam pertengkaran rumah tangga seperti ini. Lagipula, pengalaman mengajarkan bahwa lebih baik memberi ruang untuk pasangan itu menyelesaikan masalah mereka sendiri.


Kejadian ini bermula dari kepulangan kesembilan pangeran siang tadi. Begitu kereta kuda mereka memasuki gerbang benteng, tanpa aba-aba mereka disambut dengan hujan tombak yang dilemparkan dengan presisi mengagumkan oleh sosok berjubah putih—Mafu yang telah menunggu semalaman. Para pengawal benteng bahkan tak berani mencegah, terlalu takut dengan aura membunuh yang terpancar dari tubuh mungil itu. Saat mereka keluar dari kereta dengan tergopoh-gopoh, pemandangan yang menyambut lebih mengerikan lagi. Mafu, dengan pedang kayu di tangan, menghajar telak kesembilan pemimpin pasukan itu satu per satu, termasuk Soraru yang bahkan tak sempat menghindar. Para warga yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menelan ludah dan berpura-pura tak melihat apa-apa, terlalu paham dengan situasi yang sudah sering terjadi ini.


Kembali ke situasi di aula, Mafu masih terus mengomel. Apa yang awalnya adalah kritik tajam tentang kerugian strategis akibat tindakan gegabah mereka, perlahan berubah menjadi keluhan seorang istri yang khawatir akan keselamatan suami dan anak-anaknya.


"AKU UDAH WANTI-WANTI BIAR WAJAH KALIAN GAK JADI POSTER BURONAN!" Suaranya sedikit serak, menandakan betapa lama ia sudah berteriak. "AKU JUGA UDAH WASPADA BIAR NANTINYA KALIAN BISA LELUASA MENYUSUP BEBERAPA KALI LAGI KE ISTANA! DARI SEMALAM AKU BELUM TIDUR KARNA MENUNGGU KALIAN!"


Mafu mengambil napas sejenak, tapi amarahnya belum surut. "AKU JUGA BELUM MASAK! AKU BAHKAN BELUM SEMPAT KE PASAR JUGA! SEMALAMAN AKU TAKUT KALIAN KETINGGALAN ATAU LEBIH PARAHNYA DI SERGAP PASUKAN MEREKA, TAPI MALAH KALIAN YANG NEKAT DULUAN?!"


Soraru, yang tak tahan melihat wajah pucat Mafu dan lingkaran hitam di bawah matanya, akhirnya bangkit dari posisi seiza-nya. Dengan gerakan cepat namun lembut, ia meraih tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.


"APAAN?! AKU BELUM SURUH BERDIRI!!" Mafu memberontak, tapi Soraru tak mengendurkan pelukannya.


"Maaf, ya... hm?" Soraru berbisik lembut sambil mengusap surai Mafu, mengabaikan denging di telinganya akibat teriakan tadi.


Hitomodoki S2 || SoraMafuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang