14

52 4 0
                                    

Membaur dalam keramaian pasar yang sesak, seorang pria merapatkan topi bambu usangnya dengan gerakan halus namun waspada. Setiap langkahnya penuh perhitungan, berusaha tidak menarik perhatian sembari bertingkah layaknya ronin biasa yang kerap berkeliaran di kota itu. Matanya yang tajam mengawasi sekeliling dari balik bayangan topi, sementara kakinya dengan lincah menyelip di antara kerumunan pedagang dan pembeli yang berdesakan. Sesekali ia menggeser tubuhnya ke samping, menghindari tabrakan dengan pejalan kaki lain yang tergesa-gesa. Manik matanya menyapu area sekitar, mengamati perubahan drastis yang telah melanda tempat ini. Pasar yang dulu pernah berdiri megah kini tak lebih dari kenangan. Tak ada lagi jejak kemakmuran yang dulu menjadi ciri khasnya. Yang tersisa hanyalah bangunan-bangunan kusam dan jalanan berlumpur yang dipenuhi sampah.


Di sudut-sudut jalan, beberapa ronin tampak berkumpul dalam kelompok kecil, saling berbisik dengan wajah tegang. Ada pula yang bersembunyi di balik bayangan gang sempit, mengawasi situasi dengan tatapan penuh curiga. Para penduduk yang tersisa mengenakan pakaian compang-camping, wajah mereka letih dan pucat, menggambarkan betapa beratnya hidup yang harus mereka jalani. Kota yang dahulu dikenal dengan kejayaan dan kemakmurannya kini tak lebih dari bayangan masa lalu. Kedamaian yang dulu menyelimuti setiap sudut kota bagian dalam telah lenyap, digantikan oleh kekacauan yang mencekam. Pemerasan dan penindasan menjadi pemandangan sehari-hari, di mana yang kuat dengan seenaknya menindas yang lemah. Tak ada lagi aturan atau norma yang berlaku, semua orang berlomba bertahan hidup dengan cara apapun yang mereka bisa.


"Kekaisaran boleh saja mengutuk kami," bisiknya pelan pada diri sendiri, "tapi selama mereka masih belum berubah, para pemberontak akan terus berjuang."


Tiba-tiba, perhatiannya teralih pada kerumunan yang mulai terbentuk di depan papan pengumuman. Dengan langkah cepat namun tetap berhati-hati, ia menyelinap ke dalam kerumunan. Begitu matanya menangkap isi pengumuman tersebut, tubuhnya menegang seketika.


"Aah... yang benar saja," gumamnya dengan nada setengah tak percaya.


Di hadapannya, terpampang tujuh poster buronan dengan gambar wajah yang sangat ia kenal – para anggota utama Gin no Kisei. Setiap poster dilengkapi dengan nama lengkap dan deskripsi detail para buronan. Yang lebih mengejutkan lagi, di bagian bawah tertera hadiah yang fantastis, 5000 keping emas untuk setiap kepala.


Ia menggelengkan kepala melihat nominal yang tertera. "Gila betul harganya... hm?"


Pandangannya kemudian tertuju pada sebuah pengumuman berbentuk surat yang tertempel di pojok atas papan. Dengan mata memicing, ia membaca setiap kata dengan seksama. Seketika, matanya terbelalak lebar.


"Yang benar saja, oi?"


Tanpa menimbulkan kecurigaan, ia mundur perlahan dan berbalik, mempercepat langkahnya meninggalkan kerumunan. Informasi yang baru saja ia dapatkan terlalu penting untuk ditunda – waktu mereka semakin sempit.


Di sebuah kedai kosong yang terletak agak jauh dari keramaian, Kurowa bersandar pada dinding kayu yang sudah lapuk, tangannya terlipat di depan dada. Begitu menangkap sosok yang ia tunggu, keduanya bertukar pandang penuh arti sebelum masuk ke dalam kedai yang sepi.


Sou, pria bertopi bambu tadi, melepas topinya dan mengacak rambutnya frustrasi. "Heuuh... astaga! Benar saja apa kata Mafu-kun, poster buronan kita langsung keluar!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hitomodoki S2 || SoraMafuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang