Sudah satu minggu berlalu, dan keadaan desa klan Aikawa tenang seperti biasa. Sinar mentari pagi menembus celah-celah dedaunan pohon maple yang menguning, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di atas tanah berumput. Terdengar tawa riang anak-anak yang berlarian di antara rumah-rumah kayu sederhana, beberapa mengejar satu sama lain dengan tongkat kayu yang mereka anggap sebagai pedang. Para warga dewasa sibuk dengan rutinitas pagi mereka—ada yang mengangkat ember air dari sumur, menyapu halaman, atau sekadar bercengkerama dengan tetangga sambil menikmati secangkir teh hijau hangat.
Di pos pengintai yang terletak di atas bukit kecil di tepi desa, seorang penjaga dengan mata tajam menangkap pemandangan tidak biasa di kejauhan. Serangkaian kereta kuda tampak bergerak perlahan menuju desa, mengangkat debu keemasan di bawah cahaya pagi.
"Hei, karavan apa itu?" tanyanya pada rekannya, suaranya terdengar was-was.
Temannya yang duduk bersandar pada tiang kayu pos pengintai masih tekun membersihkan pedang samurainya dengan kain putih. Tanpa mengalihkan pandangan dari bilah baja yang berkilau, ia menjawab santai, "Oh, kata Yang Mulia hari ini desa kita menerima kiriman stok makanan dari pasar."
"Aah, begitu rupanya. Ya sudahlah," sang penjaga pertama menghela nafas lega, kembali mengawasi barisan kereta yang semakin mendekat.
Derit roda kayu dan ringkikan kuda memenuhi udara ketika akhirnya karavan memasuki gerbang desa. Para kusir dan pengangkut barang turun satu persatu, melepas topi jerami lebar mereka sambil mengusap peluh. Di antara mereka, Naruse adalah yang pertama memecah keheningan.
"Waah~ gila! Aku benar-benar gak suka perjalanan malam begini!" gerutunya dengan suara yang sengaja dibuat-buat. Beberapa sosok yang kemudian dikenali sebagai para pangeran segera menghampiri tempatnya berdiri.
Dari arah rumah utama desa, Soraru muncul dengan langkah tegap, diikuti Shoose yang setia di sampingnya. Jubah hitam mereka melambai pelan tertiup angin pagi. "Kalian sampai tepat waktu," ujar Soraru, matanya mengawasi sekitar dengan waspada. "Biar sisanya diurus warga desa yang akan bergantian pergi dari desa dengan kereta karavan."
Shima, salah satu pangeran yang baru tiba, melangkah maju. "Setelahnya, sesuai dengan rencana di surat kan?"
"Benar." Soraru mengedarkan pandangan sekali lagi sebelum mendekat dan berbisik, "Kamu sudah baca surat paling terakhir kan?"
Shima mengangguk mantap. "Aku juga sudah kasih tahu yang lain. Tapi kau yakin?"
"Tentu saja. Untuk apa kita menunggu lebih lama lagi?"
"Tapi kalau Mafu-kun tahu bagaimana?"
Soraru terdiam sejenak, matanya menerawang ke kejauhan sebelum menjawab dengan suara rendah, "...Ini bukan pertempuran yang kita tuju kok. Aku hanya ingin menyapa si Putera Mahkota itu lagi saja. Biarkan dia mengenali kita semua."
Shima memandang Soraru lekat-lekat, mencoba memahami maksud tersembunyi di balik kata-katanya. "Aku mengerti. Kau ingin mengancamnya bukan?"
"Tidak, kok. Itu terlalu berlebihan." Soraru mengulas senyum licik yang jarang terlihat. "Aku hanya ingin menjahilinya saja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hitomodoki S2 || SoraMafu
Fanfiction° Utaite Fanfiction ° Sinopsis : Pada suatu era, dimana kekaisaran telah menjadi musuh utama rakyat, sebuah kelompok berdiri untuk menjadi sosok yang mendobrak pintu kebebasan. Demi mewujudkan ambisi itu, mereka yang menjadi korban berkumpul di bawa...