01

83 12 12
                                    

Tahun ini telah terjadi kemarau panjang yang menyebabkan berbagai banyak kesulitan. Dari wabah, paceklik, kerusuhan, pembunuhan, perampokan, semua itu terjadi begitu serempak dan menyebar ke seluruh penjuru negeri. Keadaan semakin dipersulit oleh beberapa keluarga kaya yang mulai sewenang-wenang dan menimbun harta sebanyak mungkin agar mereka tetap bertahan hidup tanpa peduli keadaan rakyat lemah disekitarnya. Keadaan ini pun juga lebih parah dialami oleh rakyat yang tinggal di sekitar kekaisaran yang juga sama pasifnya. Akibatnya para warga mulai bangkit dengan membentuk beberapa kelompok bandit dan mulai merampok gudang para penguasa tanah.

Bulan demi bulan berlalu, dan keadaan sama sekali tidak berubah. Tidak hanya keadaan negeri semakin parah, ternyata sosok yang selama ini mereka sebut "Shogun" itu telah menjadi seorang diktator untuk mereka, para rakyat kelas bawah. Sudah menaikkan jumlah upeti, kekaisaran pun merekrut pria dalam jumlah besar untuk menambah jumlah pasukan perang dan menarik wanita dengan jumlah dua kali lipat untuk dijadikan dayang atau selir shogun.

Dan disinilah perannya sebagai seorang pemimpin pemberontakan. Bersama para rakyat kelas bawah dari berbagai kota, ia maju dan menyerang Keshogunan. Walau tidak bisa memenggal Shogun, setidaknya mereka berhasil melukainya dan menculik salah satu dari empat putera-nya untuk mengancam sang penguasa langit negeri tersebut.

Tapi nampaknya, ada yang aneh dengan orang ini.

Di dalam kuil yang sudah lapuk dan tua di tengah hutan, ia berdiri menghunuskan pedang ke leher sang putera Shogun yang duduk terikat kuat. 30 orang yang mengelilingi seisi kuil menjaga pintu dan jendela juga bersiaga karena yang mereka tangkap ini adalah seorang pemuda yang rumornya sudah menoreh banyak prestasi sebagai komandan perang terbaik dalam negeri. Tapi jangankan melawan. Saat kamarnya di sergap, orang ini hanya membiarkan dirinya di seret oleh para pemberontak sehingga banyak orang yang semakin waspada dengan diamnya. Meski begitu, tetap saja aneh untuk seorang putera penguasa menyerahkan diri ke tangan pemberontak seperti ini begitu mudah.

"Nampaknya kau sudah tidak memiliki harga diri lagi, ya," ucapnya mencoba menyinggung, yang tak disangka di balas oleh sang komandan yang tertunduk dengan angguk lemah.

"Aku memang sudah tidak punya."

Ia tertawa sarkas. "Apa kau mau berkata "aku tak punya harga diri lagi sebagai penerus tahta karena tak bisa melindungi rakyat" seperti itu? Membual sekali!!"

Putera penguasa itu mendongak dan menegakkan punggungnya. Melirik pedang di dekat lehernya, ia kembali menatap si pemilik pedang. "Kenapa tidak kau lakukan?"

Ia mengernyit. "Apa kau menantangku?"

Ia menggeleng. "Ini permohonan. Aku tidak mau selamat dan membiarkan mereka terlindungi."

" ... " Ia makin mengernyit bingung. "Apa maksudmu?"

"Jika aku berhasil di selamatkan, kaisar dan para kakakku akan menyuruhku membantai habis para pemberontak. Aku tidak mau. Aku baru pulang dari medan perang di selatan dan berniat istirahat, tapi saat tahu keadaan negeri yang seperti ini kacaunya aku mau mati saja." Sang pangeran menghela napas berat. "... seluruh upaya dan kerja kerasku benar-benar disia-siakan."

Tertegun, tentu saja. Siapa yang akan sangka pangeran ini akan berkata seperti itu. Tapi, jika ia berada di posisinya pun pasti rasanya ia akan sangat terkhianati oleh keluarganya sendiri. Sudah berkorban susah payah demi kemakmuran negeri ternyata tempat yang ia sebut rumah itu malah melakukan hal menyedihkan seperti memeras rakyat.

Pedang masih terhunus, tapi niat membunuh si pemimpin menjadi kembimbangan.

"Apa kau berubah pikiran?" Tanya si pangeran.

Seperti yang diharapkan dari seorang veteran, ia tahu musuhnya tak lagi berniat membunuhnya. Si pemimpin mendengus. "Jangan salah paham, aku hanya berpikir bahwa mencuri semua ilmu strategimu cukup bagus sebelum membunuhmu."

Hitomodoki S2 || SoraMafuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang