Flashback

78 2 0
                                    

"selamat pagi bunda sayang!" Anak perempuan itu masih memakai piyama, rambutnya yang ikal berantakan dan matanya masih belum sepenuhnya terbuka. Ia mencium pipi seorang wanita yang sedang membuatkannya sarapan. Roti bakar stroberi, sarapan kesukaan perempuan berpiyama itu.

"pagi Afreya-ku sayang," wanita itu menyodorkan piring berisi roti bakar itu ke depan freya. "frey, sebelum makan, coba panggilin adikmu dulu gih,"

"males ah naik ke atas lagi! nanti juga turun sendiri,"

"nanti dia telat lagi. klo shilla telat, kamu juga telat," freya paling gasuka kalau harus mendengar ceramah di pagi hari. Dengan berat hati ia berdiri dari meja makan dan berjalan menuju kamar adiknya yang berusia 10 tahun itu.

"SHILLAAA! BANGUN CEPETAN! KALO PAKE LAMA NANTI ROTI KAMU AKU MAKAN NIH!" freya mengetok pintu kamar shila sekuat tenaga. tapi masih belum ada jawaban.

"yaudah aku makan ya roti nya! roti stroberi pake gula... nyummyy,"

"jangan!! jangan makan! shilla bentar lagi keluar nih, jangan dimakan dulu!!"

freya pun tertawa dengan lepas. Lebih tepatnya, perempuan itu masih bisa tertawa lepas. Tapi sekarang, kehidupannya berantakan, sepi, dan penuh kerinduan. Kadang freya yang sekarang suka menangis di malam hari. Tidak sekali atau dua kali ia membuat goresan pada pergelangan tangannya.

Freya yang dulu.. lebih dari bahagia. kehidupannya sempurna. Meja makan itu penuh dengan tawa dan kebahagiaan, walau hanya ada roti bakar stroberi yang menemani mereka di setiap pagi.

Ayahnya yang selalu meneguk kopi sambil membaca koran, ibunya yang selalu mengomel tentang bunga yang ia tanam di halaman mulai layu, shilla yang selalu meminta tambahan stroberi dan gula pada rotinya, dan freya, perempuan yang selalu sibuk merapikan buku dan tasnya di pagi hari.

"freya, kenapa sih kamu ga beresin buku kamu tadi malem? jadi kan pagi-pagi gaakan rusuh kayak gini," sambil melihati anaknya yang bolak-balik turun tangga, ia menyeruput kopinya.

"malem itu waktunya nonton tv pah! abis nonton tv tidur deh, ehehehe,"

"kalau sampe ada yang ketinggalan, papa gamau nganterin ya,"

"kan mas toto yang nganterin, jadi gapapa dong," freya tersenyum lebar sambil tertawa jahil. ayahnya hanya bisa menghembuskan napas, kelelahan dengan sejuta alasan yang freya buat. setelah beberapa menit, mereka pun berangkat. Ayahnya pergi ke kantor, sementara freya dan adiknya pergi ke sekolah.

••••••••••

"Ka freya cepetan! Aku mau nonton kartun di rumah nih!" teriak adiknya di depan pintu kelas freya. freya pun cepat cepat menghampiri adiknya.

"aduh shil, aku ada rapat dulu nih. kamu pulang duluan aja ya?"

"ihh, kalogitu aku pulang dari tadi! aku duluan ya ka, jangan pulang sore sore!"

"siap!" freya senyum bahagia. sebenarnya tidak ada rapat. ia hanya ingin main sebentar dengan teman-temannya, tapi karena takut adiknya comel, ia memilih untuk berbohong. 'gapapalah, sekali ini doang' batin freya.

••••••••••
jam 17.47

freya panik melihat jam di hapenya. ini sudah terlalu sore, ia takut kena marah orang tuanya. ia pun memutuskan untuk pamit pada teman-temannya dan memesan taksi untuk pulang kerumahnya.

Sore itu ada yang janggal. Sore itu pagar rumahnya terbuka, padahal biasanya terkunci rapat. Sore itu pun sangat sepi, dan ia tidak suka suasana sepi. Ia pun berjalan pelan memasuki halaman rumahnya sendiri. Semuanya sangat janggal, entah kenapa jemari tangan freya bergetar tidak karuan. Ia sudah mulai memikirkan hal-hal negatif yang terjadi. Ia melihat sekeliling taman tapi tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tukang kebun, mbok surti, atau siapapun. Saat ia melihat ke arah jendela kamarnya, jendela itu terbuka lebar.

"mamah?" freya membuka pintu dengan perlahan, menunggu suatu suara yang akan membuatnya tenang.

"mah? shilla?" kali ini panggilan freya lebih keras lagi. suaranya mulai bergetar. terasa di matanya sudah mulai menampung air mata.

Freya berjalan ke arah ruang makan untuk mencari mbok surti tapi ia tidak ada disana. Ia pun berjalan ke arah ruang keluarga. Matanya terbelalak, air matanya mengalir tak tertampung, kakinya bergetar tak bisa menahan dirinya untuk berdiri dan akhirnya terjatuh.

Pada hari itulah ia mulai membenci warna merah. pada hari itulah ia tidak memakan roti bakar stroberi lagi, dan pada hari itulah ruang keluarga itu penuh dengan jeritan dan tangisan merah.

mendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang