another failure

3 1 0
                                    

BEEP BEEP BEEP BEEP BEEP BEEP

"Freya turn it off," herza whispering  and trying to cover his face with pillows. Gue gak tau kenapa tapi rasanya sura herza lebih deket dibanding suara handphone gue yang bunyi tanpa henti. 

"Freya," herza calls me once again. "Turn the fucking phone off," that's the moment I realized his mouth is right beside my ear and I'M WIDE AWAKE. Gue bangun dengan sigap kayak tentara yang dibangunin pake meriam dan sadar kalo gue ketiduran di sebelah herza. DI RANJANG HERZA YANG SEKECIL PERAHU. 

"WOW WHY ARE YOU SO CLOSED TO ME???" as I'm yelling and push him hard to the side of the bed. Only to realized his hand was on my waist.

Herza hampir jatoh dari tempat tidur dan itu ngebuat dia bener-bener ngebuka matanya dengan lebar. Gue yakin dia langsung sadar dan ngantuknya ilang. Padahal kita baru tidur beberapa jam karena keasikan ngobrol semalem. "Shi- you don't have to push me down!"

"Well, I'm sorry?? You're hand was on my waist, you're mouth was whispering on my ear, tell me a reason why pushing you down wasn't a good idea,"

Dia cuman diem dan ngeliatin gue dengan muka bete. PADAHAL GUE HARUSNYA YANG PAKE EKSPRESI ITU. BUKAN LO HERZA. Kita cuman tatapan beberapa detik dan dia langsung ambil handphone gue untuk matiin alarm yang masih bunyi tanpa henti. Setelah matiin alarm itu dia natap handphone gue dan ngeliatin layar handphone gue yang penuh sama missed call.


NURSE 7 MISSED CALL


Entah kenapa perut gue bener-bener kerasa ngelilit. Kaki gue kerasa dingin dan jantung gue berdebar hebat. Tanpa gue sadar napas gue udah gak karuan dan semua oksigen yang ada di ruangan ini rasanya udah hilang seketika. Gue berusaha untuk napas tapi semua yang gue hirup rasanya kosong.

"Frey? Are you okay?" I'm seriously trying to yell at him and tell him that I'm totally "fine". Herza kelihatan kebingungan dan akhirnya memutuskan untuk memanggil suster. Gak lama suster masuk dan gue dibawa keluar dari kamar Herza. Gue liat kalau Herza mau ikut keluar tapi suster yang in charge di kamar Herza gak ngebolehin dia keluar. Gue cuman bisa lihat muka dia yang penuh kekhawatiran semakin jauh dan jauh. Deep inside gue udah tau telepon itu tentang apa. Gue cuman  gak tau apakah berita yang bakal gue dapet ini akan baik atau buruk. Walaupun itu baik/buruk, yang pasti gue gak siap denger keduanya.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Setelah gue lebih tenang, gue mengumpulkan niat untuk menelpon kembali panggilan tidak terjawab itu. "Yuk, lo kuat, Frey,".

Beberapa kali nada dering terdengar di ujung telepon, sampai akhirnya suara yang kukenal menjawab panggilan itu,

"Freya? Kemana aja kamu? Kok kamu gak jawab terus?"

"Halo Sus.. Maaf handphone-ku pakai night mode, jadi panggilannya gak masuk. Ini aku baru aja bangun.."

"Pantes aja. Freya, aku mau kabarin kamu tentang..."

"Shilla?" jawabanku tegas tapi penuh dengan ketakutan. Suster hanya terdiam menanggapi pertanyaanku sebagai jawaban 'iya'. Sepertinya dia sedang bersiap untuk memberitahukan berita selanjutnya, sedang merangkai kata-kata terbaik untuk dilontarkan kepadaku. "Baik atau buruk?" tanyaku lebih lanjut.

"Kamu mau dengar yang mana dulu?" ia bertanya untuk memastikan tindakan selanjutnya dengan benar.

"Buruk," jawabku tegas tapi lagi-lagi perasaan takut itu semakin besar. Disaat aku bersiap untuk mendengar jawaban itu, Herza datang disampingku. Membawa infusnya dengan tangannya sendiri dan sedikit terengah. Aku yakin dia kabur dari kamarnya dengan lari dari suster itu. Aku menunggu jawaban suster dengan menatap Herza penuh dengan rasa takut. Herza paham itu dan segera memegang tanganku dengan erat. Ia kemudian duduk tanpa melepaskan tanganku.

"Shilla mengalami masa kritis tadi malam. Kami harus menghubungi anggota keluarganya tapi kamu tidak kunjung menjawab Freya," ia ragu untuk melanjutkan kalimatnya, walau aku sudah tau apa yang akan ia katakan selanjutnya. Mataku mulai berkaca-kaca dan cengkramanku semakin kuat sehingga membuat Herza terkejut. "Kami terpaksa menelepon ayahmu. Aku tahu hubunganmu dengan ayahmu tidak begitu baik dan aku tahu jika aku lakukan ini hubungan kalian bisa jadi bertambah buruk tapi pihak keluarga perlu tau apa yang terjadi kemaren Freya. Aku harap kamu paham itu. Kita harus bersiap untuk kemungkinan paling buruk dan tidak bisa membiarkan Shilla sendirian di masa seperti itu,"

"Aku mengerti," jawabku pelan. Seluruh tubuhku lemas, bahkan untuk duduk pun rasanya sudah tidak ada tenaga. Tanganku sudah tidak menggenggam Herza. Lebih tepatnya hanya Herza yang menggenggam tanganku sekarang. "Apakah Shilla..."

"Dia berhasil melewati masa kritis itu,"

"Terima kasih, aku akan segera kesana secepatnya," aku pun bergegas untuk menutup telepon itu. "Bodoh, bodoh, bodoh, bodoh, bodoh," hanya kata itu yang kuulang-ulang tanpa henti sembari memukul kepalaku dengan tangan kananku. Napasku mulai tidak beraturan tapi entah kenapa air mata tidak keluar. Dia hanya terbendung tanpa turun, layaknya langit yang menampung banyak air sebelum diturunkan sebagai hujan. Seperti mendung.

"Hey, Frey, hey," Herza berulang kali panggil nama gue selagi mencengkram tangan gue, mencegah gue untuk terus memukul kepala gue dengan keras. He then cupped my face and look me straight in the eyes. He neither smile nor looking sad nor even pity me. "Calm down, I'll always be here with you,"

"Will you?"

"Absolutely,"

"Even if I was a failure?"

"Even if you're a failure which I don't even think of you as a failure,"

"Even if I'm a murderer?"

He look me in the eye as if he could see me through my soul, "Even if you're take out someone else's life, I would give my life whole heartedly to you,"

mendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang