Tantrums and Pills

5 1 0
                                    


"Frey minum dulu," Thaya dengan muka pucatnya menyodorkan air minum kepadaku.

"Thay pulang aja, muka lo pucet banget,"

"Muka lo lebih frey," Gue pun menengok ke sebelah kanan gue, dimana ada kaca besar menghiasi ruang tunggu. Gue terlihat seperti mayat hidup. Rambut gue berantakan, bibir pucat, terdapat noda darah di kerah, bahkan kemeja gue udah keluar dari rok. Gak rapih sama sekali.

"Pulang aja yuk frey? Nanti dokter bakal kabarin kok.. Udah hampir 12 jam kita disini.."

Gue cuman bisa jawab dari dalem hati. Pusing, lemas, semuanya udah campur aduk. Tentu saja gue gamau pulang dan Thaya sadar akan hal itu. "Frey, lo tadi sampe muntah-muntah, mimisan pula.. Mending kita istirahat ya?" Gue pun menengok ke arah Thaya. Matanya berkaca-kaca. Dia pasti sangat khawatir.

"Gimana kalo ini salah gue thay. Gimana kalau dia pusing denger gue manggil dia dengan keras kaya gitu? Gimana kalau gue tarik dia kekerasan dan dia lagi lemes?" Mata gue mulai basah.

"FREYA! Ini bukan salah lo!"

"Tapi kita gatau dia sakit apa Thay! Kita tau dia sakit dan malah tetep jalan kaki sama dia, padahal kita bisa ajak dia naik taksi atau minta supir kita buat anter. Kita tau dia sakit tapi kita gatau apa-apa, kita bodo thay, kita bodo! Dia jatoh sampe batuk-batuk ngeluarin darah dan kita cuman bisa diem doang, kita bodo, kita bego thay!" Gue mulai menangis dengan kencang. Kepala gue rasanya mau pecah dan hal yang bisa gue lakuin cuman duduk meringkuk sambil memegangi kepala gue. Berdoa agar kepala ini tidak benar-benar pecah.

Thaya membuka tasku. Merogoh-rogoh sesuatu sampai ia menemukan kantung obatku. Yap, aku belum meminumnya satu pun. Obat itu masih utuh dari pertama aku membelinya. "Freya... kamu gak pernah minum obat kamu?.."

"You know why i dont take those pills thaya. Taking those pills wont bring back my mom or shilla, they wont ever comeback.. they wont..."

"Kamu harus minum ini sekarang frey.. ayo," Thaya mencoba untuk membuka mulut gue sambil memegang pil dan air minum di tangan satunya. Entah apa yang terjadi, yang gue tau gue mulai gila. Gue mulai meracau. Suster mulai berdatangan karena gue mulai gaduh.  I'm starting to throw tantrums. This is what happened if I didn't take my medicine and something making me stressed.

And the next thing I saw is darkness.

But I remember something before that. I saw someone standing far away, saw me throwing tantrums around everyone and just standing there hiding behind the pillars. I saw him but I can't remember his face.

Hal pertama yang gue lihat saat membuka mata adalah hal terakhir yang pengen gue lihat, "...papa?" Dia melemparkan pil-pil yang sudah dimasukan dengan rapih kedalam botol dengan muka ketusnya. He never put that face before, but well everything has changed. 

"Jangan pernah lupa untuk minum itu," Hanya itu yang keluar dari mulutnya dan setelah itu ia mengambil jaketnya dan membereskan barangnya.

"Since when did you care," Kalimat yang sangat pelan dan perih untuk diucapkan.

"What did you say?"

Entah setan apa yang masuk ke badan gue akhir-akhir ini.

"Sejak kapan papa peduli? Papa bahkan udah gamau ngomong sama Freya. Makan bareng aja gak pernah. Bahkan papa juga udah gatau kan kehidupan sekolah Freya kayak gimana? Kenapa harus repot ngurusin obat Freya sekarang?"

"Beraninya kamu ngomong seperti itu ke bapak kamu sendiri," Dingin. 

"Bapak? Jadi sekarang freya diakuin sebagai anak?" 

silence.

"YOU NEVER LOOK AT ME THAT WAY SINCE THE ACCIDENT! Papa cuman bisa ngeliatin Freya dengan tatapan dingin! Semua pertanyaan yang biasa papa tanyain ke Freya udah gak pernah ditanyain lagi. Bahkan ucapan ulang tahun yang cuman satu kali dalam setahun pun gapernah papa ucapin lagi. AKU DI MATA PAPA UDAH BUKAN ANAK LAGI YA KAN PA? AKU CUMAN PEMBUNUH. AKU BUKAN SIAPA SIAPA. AKU CUMAN PEMBUNUH YANG TINGGAL SERUMAH SAMA PAPA. IYA KAN PA? ITUKAN ALASANNYA PAPA GAMAU NATAP MATA FREYA LAGI? MAKAN SAMA FREYA LAGI? NGOBROL SAMA FREYA LAGI? AKU CUMAN ORANG YANG BUNUH IBU DAN SHI--"

PLAK! dan hal selanjutnya yang gue rasakan adalah rasa sakit dari tamparan yang mendarat ke pipi gue. Ia pun pergi seolah memberikan tamparan itu sebagai hadiah terakhir dan jawaban dari semua perkataan yang telah gue lontarkan.

Gue menghirup napas dengan gemetar, "Bahkan air mata pun sudah gabisa keluar lagi ya?"

"Mau gue pinjemin bahu?" Suaranya tidak asing. Malah terasa hangat. Sekarang ruangan ini dipenuhi dengan sunyi. Tidak ada kata yang keluar. Dunia seakan berhenti, menunggu sesuatu untuk membuatnya berputar kembali.

Laki-laki itu tidak menunggu jawaban. Bahkan pertanyaan yang ia lontarkan lebih seperti suruhan untuk menangis di bahunya. Ia hanya berjalan pelan dan memberikan pelukan yang membuat kepala ini tepat jatuh di bahunya.

Detik itu dunia kembali berjalan. Seiring dengan tangisan yang mulai mengisi kesunyian di ruangan itu, satu hal lain yang baru saja disadari dalam hati.

'Oh. Ternyata dia yang berdiri dibalik pillar itu,'


Herza Bimantara Pratama.

mendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang