those hands.

30 2 1
                                    

Sudah beberapa hari semenjak kejadian di rumah sakit itu berlalu. Gue bahkan gak pernah ngobrol lagi sama Herza semenjak kejadian itu. DAN JAWABAN DIA WAKTU ITU NYEBELIN PARAH! 'soalnya kan lo gasuka ujan,'

haaaaahhhh??

 ya gue ngehargain  bahwa dia inget gue gasuka ujan, tapi apa gaada alasan yang lebih manusiawi? like, 'daripada lo sakit, nanti gue yang dimarahin, nih pake' ato 'biar ga gembel-gembel amat' ato 'lo gak bisa liat apa ini lagi ujan?' ATO APA GITU YANG LEBIH KE-HERZA-HERZA-AN!! i'm soooooooooooooooooo pissed.

Dan kalau kita papasan di lorong? yang kita lakuin tuh sama, cuman saling liat tanpa basa-basi, tanpa senyum, dan tanpa menghentikan langkah kaki. Sialnya, gatau kenapa, gue kesel. I don't know why, tapi semua hal yang kita rasain gak butuh alasan kan?

Dan sekarang gue lagi di kantin, sedang melakukan hal yang sangat suci dan tidak bisa diganggu. Yaitu makan baso bu mimin. Baso terenak dan termurah yang bisa lo temuin se-kota Bandung. Disaat gue udah mangap kaya ikan dan siap banget masukin tu bola-bola daging ke mulut, sesosok setan muncul di kantin. Celingak-celinguk gak jelas dengan jaket jeans lusuh miliknya.

Thanks for that, nafsu makan gue sudah hilang.

"Frey!! Lo dengerin gue gak sih?" Gue pun sadar gue lagi ngeliatin Herza. Gue ngeliatin dia kayak lagi ngasih dia serangan ilmu hitam tau gak sih?

"Lo liatin apa sih?" Thaya pun mencari objek yang bisa mengalihkan fokus gue dari curhatan dia di pagi hari. "Herza?"

"Hah?? Apaan!" Shit, frey. It was so obvious. "Ngapain juga gue ngeliatin tu anak dekil. Udah mah nyebelin, kaya setan, becandaan dia garing lagi! Ngapain juga gue ngeliatin herza?"

and suddenly, suara yang paling gamau gue denger hari itu, terdengar tepat di sebelah gue. "Lo ngomongin Herza yang mana kalo boleh tau?" Tadaa! Herza yang kita bicarakan pun muncul.

Gue dan Thaya cuman bisa diem. Kita gak tau harus ngomong apa. Sebenernya gue bisa aja ngomong sesuatu tapi gue gamau. Gue mutusin untuk gak ngomong sama sekali daripada keliatan kaya orang bodoh di depan dia.

"Thaya," Panggil Herza.

Muka Thaya pun sama kagetnya dengan muka gue. Kenapa? Dia adalah anak yang bilang bahwa ngafalin nama anak kelas tuh GAK GUNA, dan sekarang dia manggil salah satu anak kelasnya yang 'GAK GUNA'. like, duh!

Thaya masih belum menjawab panggilan Herza. Herza pun sudah tidak sabar untuk menunggu jawaban dari Thaya dan akhirnya dia kembali membuka mulutnya, "Gue pinjem Frey ya,"

Dan di detik ini, gue berasa seperti barang dan pemilik barang itu adalah Thaya. Hanya dengan anggukan kecil dari Thaya, Herza menarik gue dari bangku kantin. Menjauhkan gue dari Baso Bu Mimin. Memisahkan gue dari Es Jeruk Mang Dodo.

Gue gak tau harus ngomong apa. Gue bingung. Sama bingungnya kaya anak-anak kantin yang ngeliat gue diseret sama 'Si Anak Pindahan' yang jadi pembicaraan orang sejak minggu lalu.

"Ih ko narik si freya sih,"

"Gue kira mau narik si Thaya,"

"Sayang banget, padahal ganteng,"

Semua bisikan anak kantin terdengar jelas di kuping gue. I'm sorry it's not what you expect guys.

"Jadi, intinya lo mau bawa gue kemana sih?" Herza cuman diam. Menyalakan motornya dan memberikan helmnya ke gue. "Lah terus lo pake apa?" dannnnn, pertanyaan gue gak dijawab lagi. Dia cuman nyuruh gue buat naik ke motornya dan pakai helm fullface putih miliknya.

Saat gue udah mau masang helm itu di kepala gue, gue teralihkan sama sticker kecil di sebelah kanan helm itu. Sticker itu bertuliskan 'PRATAMA'. Gue pun tertawa geli. Cowok yang sifatnya kaya gini, berandalan, mabal pelajaran terus, ngomong ceplas-ceplos ternyata gak kaya apa yang kita pikir. Mungkin dia emang pake motor gede, tapi dia gak pernah nongkrong gajelas sama geng motor, dia juga gak ngerokok. Dia bawa-bawa jam antik di sakunya, dia juga nempelin sticker di barang-barangnya bertuliskan 'PRATAMA'.

Seketika suara Herza menyadarkanku from my little outer space, "Turun,"

Gue melihat sekitar dan kita ada di... Mall? "LO NGAJAK GUE MABAL!!?"

"Congratulations! kamu baru sadar setelah 2 menit kita jalan ke parkiran sekolah, 1 menit gue nyalain motor, nyuruh lo naik, nyuruh lo make helm, daaaann yang paling penting adalah 15 menit perjalanan keluar sekolah dan sampe disini, good girl,"

Herza jalan memasuki pintu mall dan ninggalin gue yang masih bingung. Gue cuman bisa bengong. Bego banget sih frey! Gue cuman bisa ngekor di belakang Herza. Gue gatau gue harus ngapain dan fungsi gue disini buat apa? Gue malah kaya pembokat yang nunggu perintah dari majikannya.

Herza masuk ke satu toko. Gue cuman bisa ngeliatin dia buat masuk ke toko itu. Kenapa gue cuman diam? Karena itu adalah toko yang paling gamau gue masukin. Toko perhiasan.

"Kok lo diem aja? Cepet masuk,"

"Gue...... disini aja," Gue cuman mematung di depan pintu masuk. Semenjak kejadian itu, gue udah mutusin beberapa hal. Salah satunya, gue gaakan ngemasukin toko yang ngebuat gue inget tentang Mama dan Shilla. Dan toko itu adalah toko perhiasan.

"Yaelah!" Herza mendekat ke arah gue dan menarik gue masuk. Pikiran gue kosong, dan tangan gue... "Tangan lo dingin amat Frey,"

Herza melepaskan genggamannya dari tanganku. Gue gak tahu kenapa, tapi saat itu yang bisa buat gue tenang cuman tangan itu. Tangan orang yang gue benci, tapi orang yang bisa buat gue sadar dengan caranya sendiri bahwa selama ini pandangan gue itu salah. Gue pun segera menarik tangan herza lagi. Menggenggamnya erat dengan tanganku yang dingin.

Herza hanya melihatiku sesaat dan tanpa berkata apa-apa, ia balik menggenggam tanganku. and I appreciate that.

Ia pun mulai memilih beberapa gelang dengan berlian lalu meminjam tanganku yang satu lagi untuk mencocokannya. Ia melakukannya tanpa melepaskan genggaman tanganku. "Bagus," kataku. Sambil menunjuk bangle berwarna silver dengan charm bulat di pinggirnya.

Herza memandangi bangle itu sebentar lalu mencoba gelang lain di tanganku. Akhirnya ia membeli gelang dengan charm berlian yang harganya......... sebut saja harganya tidak normal untuk dibeli oleh anak SMA.

"Ngapain lo beli gelang kaya gitu?"

Ia terdiam sebentar. Dengan muka bingung atau malu atau apa deh! Gue gak ngerti apa mimik muka dia waktu itu, "Kado ulang tahun ibu gue,"

Ia menjawab dengan mata bersinar. Dengan senyuman anak kecil sambil melihati barang yang baru saja dia beli. Menjawabnya tanpa melepas genggaman tanganku.

Dia benar, apa yang kita lihat, bukan yang sebenarnya kita lihat.

And I admit, I always judge a book by it's cover. And it was rude.

Now i learned something from him and i guess now he deserved a medal for that.

mendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang