Evanescent

107 10 2
                                    

Udara terasa lebih dingin malam ini. Bukan hanya karena musim dingin yang menggigit, tetapi juga karena sesuatu yang lain—sesuatu yang menekan dada seperti kabut pekat di pagi buta. Langkah-langkah Yoshi menggema di sepanjang koridor, semakin cepat saat mendekati ruangan di ujung lorong. Api dari perapian membara dalam keheningan, lidahnya menari, memantulkan cahaya ke dinding batu yang dingin. 

Di dalamnya, seorang wanita duduk dengan anggun, jubah mandinya terbuat dari satin putih, jatuh sempurna di bahunya seperti mahkota yang tidak terlihat. Tangannya yang ramping menggenggam secangkir teh, uapnya mengambang lembut di udara. Ia tidak terkejut melihat Yoshi masuk dengan wajah keruh dan mata tajam seperti pedang. 

"Apa yang kau lakukan?"

Nada suara Yoshi rendah, tetapi penuh ketegangan yang menyelinap di antara mereka. Somi mengangkat kepalanya, mata coklat gelapnya bertemu langsung dengan tatapan Yoshi yang penuh amarah. 

"Kau ingin teh? Duduklah."

Suara itu selembut angin yang berbisik di malam bersalju. Somi tersenyum kecil, seolah menikmati permainannya. Yoshi menghela napas, menekan rasa frustrasi yang menggumpal di tenggorokannya. 

"Apa yang kau rencanakan pada Karina?" 

Somi mengaduk tehnya pelan, seakan waktu di sekelilingnya berhenti. "Aku hanya membantunya bertemu idolanya."

Suara berdebam memenuhi ruangan saat tangan Yoshi menghantam meja. Cangkir teh di hadapan Somi bergoyang, hampir tumpah. 

"Idolanya?"

Somi menghela napas, seolah Yoshi berlebihan dalam menanggapi semuanya. "Aku repot-repot memanggil Asahi untuk datang menyelamatkan Karina. Istrimu masih selamat. Kenapa kau begitu dramatis?"

Yoshi mengepalkan tangan. Dadanya naik turun, mencoba menahan emosi yang mendidih di dalam dirinya. "Dua asisten rumah tangga tewas. Penjaga yang seharusnya melindungi Karina menghilang. Putraku hampir——"

"Oh, Yoshi…" Somi mendesah pelan, menggigit bibir bawahnya sambil mengamati pria di depannya. "Kau berlagak seperti pria setia dan penuh cinta. Itu menjijikkan."

Tatapan Yoshi membeku. Matanya yang gelap tak berkedip saat menatap Somi, dan wanita itu tersenyum. "Aku tahu siapa dirimu, Yoshi. Kau tak pernah berubah."

Hening mengisi ruangan, tetapi bukan keheningan yang nyaman. Itu keheningan yang mengancam, seperti badai yang bersiap menerjang. 

Yoshi bangkit, suaranya rendah namun tajam seperti pisau yang baru diasah. "Aku menghargai pertemanan kita, Somi. Tapi jika kau mengancam keluargaku sekali lagi…"

Ia mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya hanya beberapa inci dari Somi. Mata mereka bertemu dalam tatapan dingin yang menggetarkan udara. 

"Aku harap aku tak perlu menunjukkan bagaimana aku bisa menghancurkan siapa saja yang mencoba melawan ku."

Yoshi berbalik, meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban. Somi hanya duduk di sana, masih tersenyum kecil, matanya bersinar dengan sesuatu yang lebih gelap dari sekadar kesenangan. 

"Semakin menarik, Yoshi…"

***

Karina terbangun dengan tubuh yang gemetar. Dada naik turun dalam napas yang tersengal, pikirannya kacau seperti potongan kaca yang berantakan. Cahaya bulan menyusup masuk melalui celah tirai rumah sakit, memperlihatkan sosok Yoshi yang tertidur di sofa panjang, lengan kanannya menutupi matanya, seolah ingin melindungi dirinya dari dunia yang tak kenal ampun. 

Tapi sebuah bayangan mengambil alih pikirannya, mengingatkan Karina tentang sebab mengapa dirinya bisa berakhir di tempat ini, semakin lama semakin terasa jelas dan dekat. Karina tak lagi mampu menahan gelombang ketakutan nya.

SCENIC || YORINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang