And

4.8K 335 19
                                        

Previous :

"Permisi..."

Suara lembut itu meluluhkan hati Kinal seketika. Sesopan itu kah ucapannya pada semua pria biadab yang selama ini dengan mudah mendapatkan Veranda tiap malamnya?

Pintu pun tertutup rapat, tak ada suara lagi yang memecah heningnya kamar ini. Sampai Kinal memberanikan dirinya untuk membalikkan badannya, disana kedua bola mata Veranda membulat. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kamu?"


=================


Langkah kakinya begitu cepat walau ia sedang memakai sepatu dengan heels tinggi. Sedikit tergesa-gesa menaiki anak tangga, menuju ruangan paling atas dari gedung ini. Sampai dalam sebuah ruangan mewah, dia menatap marah pada seorang pria berpakaian rapih.

"APA ANDA SUDAH GILA?!" jeritnya.

Hanya tawa meremehkan yang ia dapatkan. Rasa bencinya pada pria itu semakin meningkat. Sejauh ini cobaan yang harus dihadapinya. Matanya berkaca-kaca tak kuasa menahan emosi, yang ingin ia luapkan dengan tangis. Tapi jangan, ia tak mau terlihat lemah dihadapan orang biadab yang membuat hidupnya menderita.

"Apa maksudmu sih? Tumben berisik? Kamu mau adikmu tidak selamat lagi?" ujar pria itu santai, seenaknya ia mengeluarkan kepulan asap tepat di wajah perempuan dihadapannya.

Selalu saja dengan ancaman yang sama, Veranda menggeleng keras. Suara gemelutuk giginya menjelaskan kalau ia benar-benar berusaha menahan emosi. Asap rokok yang berseliweran disekitarnya tak ia pedulikan, ingin membuka suara protes lagi.

"Dia perempuan! Bodoh! Mana mungkin saya melayani perempuan itu?!"

"HAHAHAHAHA!"

Tangan Veranda mengepal erat ketika hanya direspon dengan tawa memuakkan. Kesal ia karena semakin hari, semakin direndahkan oleh pria dihadapannya.

"Bukannya lebih baik? Kamu suka kan?"

Veranda mematung, tak bisa membalas ucapan itu. Tak bisa ia pungkiri memang, tapi Veranda tidak menginginkan dirinya tampak semakin kotor. Terlebih lagi dihadapan seseorang yang saat ini sedang menunggunya. Mau ia taruh dimana harga dirinya? Menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang perempuan... malam.

"Sudahlah, tak usah munafik. Terserah kamu sekarang. Bukannya kamu itu professional terhadap semua pelanggan kamu?"

Dahi Veranda berkedut mendengarnya, ditariknya nafas pelan sebelum berlalu meninggalkan pria perokok itu sendirian lagi di ruangannya.


BRAKK!!


Dibantingnya keras pintu ruangan mewah itu. Kembali ia dengan langkah ragu-ragu. Sesekali ia remas rambut hitam coklat panjangnya. Matanya terpejam kala menarik nafas berulang-ulang. Jantungnya semakin berdetak tidak benar ketika ia membuka pintu kamar dimana seorang pelukis menunggunya lama.

"Maaf. Apa kamu lama menunggu?"



=================


Tek! Tek! Tek!


Suara jam dinding dalam ruangan itu begitu nyaring terdengar. Salahkan kesunyian kamar remang ini saja. Marahilah kedua insan yang hanya saling diam sedari tadi itu. Seorang diantaranya sedang menatap serius pada kanvas dan catnya. Seorang lagi hanya terdiam dengan ekspresi canggungnya.

Painter and ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang