Painter III

3.9K 377 77
                                        

Previous :

"Selain itu, aku juga sangat merindukan dia Nob..."

Tidak dapat kupungkiri lagi, terus terang aku saat ini membayangkan bagaimana Veranda duduk manis disana. Pura-pura mendengarkan ocehan para hidung belang padahal bola matanya sudah tertahan jelas mengarah padaku yang biasa duduk di sofa merah marun ini.

"Veranda, aku tidak pernah melihatnya lagi memenjak hari itu memang. Tapi aku mendengar kabar bahwa Tuan Damian setengah gila karena mencari dia yang lenyap begitu saja..."

Kerongkonganku tercekat, menelan ludah pun rasanya berat. Kemungkinan terburuk itu tak boleh sampai terjadi. Tapi otakku berpikir cepat, aku memandang aneh pada Nobi. Ada satu hal yang mengganjal dari pernyataan Nobi soal Damian. Ini, aneh...

"Kenapa Damian mencari Veranda?!"


=================

Veranda POV


Beberapa dimensi gelap yang kuarungi dalam mimpiku membuatku tak nyaman dalam tidur. Sosoknya yang terluka, dihempas habis-habisan oleh orang tak biadab itu terus-menerus melintas, mengganggu lelap tidurku. Kacau hati ini, jeritan ketakutanku membuatku semakin mendekati dunia nyata. Hingga lenyap mimpi kelamku yang ketiga kalinya seminggu ini.

"Veranda? Ve?! Kamu nggak papa?"

Suara kepanikan itu menyadarkanku. Perlahan kubuka kedua mataku yang sedari tadi setia terpejam. Baru kusadari, lelahku membawa peluh yang mengucur disekitar pelipis dan wajahku.

"Ve? Kamu baik-baik saja? Ada apa?"

Sosok dihadapanku ini membantuku untuk bangkit. Kurasakan bola matanya bergerak gusar, mencari-cari penyebab aku jadi begini. Percuma, kau tak akan tau, yang membuatku seperti ini hanya bisa kumiliki dalam hati, wujud nyatanya, entah ada dimana.

"Minum dulu..."

Segelas air dari nakas ia sodorkan untukku. Tanpa keraguan langsung kuteguk air putih pemberiannya. Kerongkonganku yang kering sedikit nyaman karena dialiri air yang kuminum. Ditambah belai lembut tangannya pada rambutku yang terurai.

"Ini sudah ketiga kalinya dalam waktu seminggu. Kalau kamu siap, aku mungkin sedikit bisa mengurangi bebanmu. Ceritalah?"

Kupandangi sepasang manik obsidian yang menghiasi wajah tampannya. Kuselami begitu jauh, dan aku temukan ketulusan disana. Pria ini, selalu begitu baik sejak pertama kali pertemuan kami.

"Marius..." panggilku. Dia mendekatkan dirinya dua senti dengan alis yang saling terangkat.

"Terimakasih..."

Akhirnya, hanya sepatah kata itu yang mampu kuucap meski aku tau bahwa sesungguhnya ia menginginkan lebih dari sekedar ucapan terimakasih. Senyum kecut langsung menghiasi wajah tampannya. Dia menghela nafas lebih berat dari biasanya.

"Baiklah, aku mengerti..." pria ini turun dari tempat tidur, ia kembali berdiri menghadap kearahku sembari memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana, senyumnya tampak lebih tulus.

"Istirahatlah, masih dini hari. Selamat istirahat, Veranda."

Aku mengangguk dengan senyum tipisku. Ia beralih menutup pintu dan melempar satu lagi senyum untukku.

Saat pintu kamar ini tertutup rapat, kembali suasana kelam itu merambati hatiku. Sesepi ini rasanya hidup tanpa tau alasan apa yang membuat kita untuk memilih tetap bertahan.

Disini aku hidup sekarang. Berada ditempat seseorang yang sama sekali tak pernah kukenal sebelumnya.

Teringat ketika dua minggu lalu aku membuka mataku dan tau berada ditempat yang semewah ini. Langsung kurasakan trauma luar biasa. Ruangan luas, gemerlap, tempat tidur, mewah, lalu semuanya seperti menjadi momok untukku. Ketakutan makin menghampiriku ketika seorang laki-laki berbadan tegap memasuki kamar ini.

Painter and ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang