Vier: Mr. Dvorak.

3.3K 196 9
                                    

"Bree? Kamu nggak apa-apa?" tanya Abigail dengan cemas saat ia melihat wajah sahabatnya pucat pasi setelah ia tinggal sebentar ke toilet untuk buang air.

Aubree menggeleng pelan. Suaranya tercekat di dalam tenggorokannya. Ia seperti habis melihat hantu.

Ia mencengkram gaun yang ia kenakan dengan kuat, sampai buku-buku jarinya memutih. Bulir-bulir keringat tidak bisa berhenti mengalir dari pelipisnya.

"Ada apa?" tanya Abigail.

Aubree celingukan, lalu berkata, "Kita nggak aman di sini."

"Maksudmu?"

"Tadi... tadi ada orang yang suruh aku lari, By!" kata Aubree.

Abigail langsung tertawa lepas. "Aduh, Bree, Bree. Jangan paranoid deh. Mungkin aja dia usil kan?" Abigail berusaha untuk mencairkan suasana yang sangat canggung.

"Tidak, Bree! Aku tidak bohong. Dia bilang 'lauf'! Habis gitu, ada kapten kapal yang aneh.

"Badannya tinggi banget kaya raksasa, terus matanya bentuknya lancip gitu warna merah pula. Mirip kaya setan!"

"Hush, Bree. Kamu itu ngomong apaan sih? Sudahlah, mungkin kamu berhalusinasi gara-gara capek. Mendingan kamu habisin spaghetti-mu, nanti dingin loh," kata Abigail.

Gadis berambut merah tua itu pun kembali menyantap spaghetti-nya meskipun ia merasa cemas.

***

"Kita jalan-jalan ke dek kapal yuk. Cari angin," ajak Abigail, setelah mereka menyelesaikan hidangan penutupnya, panna cotta yang sangat lezat.

"Okeidokie!" Mereka pun meninggalkan ruang makan dan menuju dek kapal untuk mencari udara segar.

"Wuiih, dinginnya..." Abigail merentangkan tangannya. Matanya terpejam. Ia sangat menikmati tiupan angin malam yang membelai wajahnya.

Awalnya Aubree ikut menikmati angin malam Tetapi, tiba-tiba Aubree menjadi ketakutan lagi.

"Abby, itu... itu orang yang suruh aku lari tadi," kata Aubree dengan suara yang bergetar.

Jari telunjuknya menunjuk seorang pemuda yang sedang berdiri di tepian kapal, memandang laut lepas.

Tanpa Aubree duga sebelumnya, Abigail menarik tangannya dengan paksa dan mengajaknya bertemu dengan pemuda misterius itu.

"Guten abend, mein Herr," sapa Abigail dengan sopan. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Sinar bulan malam itu membuat mata biru pemuda itu berkilauan indah.

"Ah, selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan ramah. Sifatnya sangat tenang, tidak seperti saat di ruang makan tadi.

"Teman saya ingin berbicara dengan Anda sebentar. Bisa minta waktunya sebentar?" Pemuda itu mengangguk.

Lalu, Abigail menatap Aubree dan mengangguk, seolah-olah memberinya kesempatan untuk berbicara.

Pemuda itu menatap Aubree dengan mata birunya yang sangat teduh. "Ada apa, Nona manis?" Aubree langsung salah tingkah.

Jantungnya berdegup kencang. Telapak tangannya mulai basah karena keringat dingin. Ia menatap pemuda itu dengan takut-takut sekaligus bingung.

Perasaan tadi dia heboh kaya Ibu-Ibu tukang gosip di komplek rumah gitu. Sekarang kok tenang gini ya?, batin Aubree.

"Bree, bicaralah!" bisik Abigail. Aubree masih saja membungkam mulutnya.

"Nona? Apakah Anda baik-baik saja?" tanya pemuda itu.

Titanic IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang