Pesawat mereka mendarat di bandara Ngurah Rai, Bali tepat pukul lima sore. Jalal dan Jodha tidak ingin membuang buang waktu lagi, mereka segera berangkat menuju kediaman orang tua Rai. Di perjalanan, belum banyak interaksi yang mereka lakukan. Jalal merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bicara dari hati ke hati dengan Jodha. Jalal akan membiarkan Jodha berkonsentrasi pada Rai terlebih dahulu. Taksi yang mereka tumpangi telah sampai didepan sebuah rumah besar bergaya mediterania. Jalal membukakan pintu untuk Jodha dan segera membayar ongkos taksinya. Di halaman depan rumah tersebut masih terlihat suasana duka menyelimuti. Puluhan karangan bunga masih berjejer rapi menandakan ucapan bela sungkawa untuk keluarga penghuni rumah ini. Menurut penuturan satpam rumah ini, jenazah Rai telah dikebumikan tadi pagi. Itu artinya hampir bertepatan dengan dilangsungkannya akad nikah Jodha dan Jalal. Kembali, air mata Jodha menetes tak terbendung mendengar penuturan sang satpam. Jalal langsung memegang pundak Jodha memberi kekuatan untuk sahabat atau lebih tepatnya disebut dengan istrinya ini.
Mereka masuk kedalam rumah dan langsung disambut oleh kedua orang tua Rai. Isak tangis tak dapat dibendung lagi. Ibu Rai dan Jodha saling berpelukan dan menangis sesenggukan. Ayah Rai mencoba menenangkan suasana dengan menyuruh mereka untuk duduk dan berbincang sebentar.
"Paman, bibi, maafkan aku karena aku tak bisa menghantar kepergian Rai ke peristirahatan terakhirnya. Aku memang calon istri yang kurang ajar," ucap Jodha masih sesenggukan.
"Sudahlah Jo, paman dan bibi sudah mendengar apa yang terjadi padamu," sahut ibu Rai sambil menyeka airmatanya.
Seketika wajah Jodha berubah gugup dan memucat,"jadi, paman dan bibi sudah tahu kalau aku....," Jodha tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Iya sayang, kami sudah tahu. Selamat untuk kalian, semoga kalian bahagia," ucapan ibu Rai terdengar tulus.
Jodha semakin merasa sesak. Tangisnya kembali pecah,"bibi.... ma... maafkan aku bi... aku tidak bermaksud," Jodha berlutut didepan ibu Rai dan menangis menenggelamkan wajahnya dipangkuan ibunya Rai.
"Sudahlah sayang, bibi tidak menyalahkanmu, ini semua sudah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa. Kami bahkan ikut merestui dan mendoakan yang terbaik untukmu. Dan bibi yakin, Rai disana, juga akan bahagia melihat ini semua. Jalal adalah pria yang baik dan Rai sering menceritakan hal itu kepada bibi," ibu Rai mengelus rambut Jodha dengan lembut. Tangis Jodha semakin menjadi dan Jalal sedari tadi hanya menunduk tak bersuara.
"Sudahlah Jo, kau tak perlu merasa bersalah lagi. Kami semua telah ikhlas menerimanya. Bagaimana kalau kita bersama sama mengunjungi makam Rai sambil berdoa," ajak ayah Rai.
"Iya paman. Terima kasih untuk semuanya. Aku juga ingin segera mengunjungi makam Rai," Jodha pun beranjak berdiri dibantu oleh Jalal.
Lima belas menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di lokasi pemakaman tempat dimana jenasah Rai dikebumikan. Jodha yang sedari tadi mencoba mengumpulkan kekuatan agar dapat tegar akhirnya menyerah juga saat melihat batu nisan yang tertulis nama Fabian Raizada disana. Jodha bersimpuh didepan makam Rai dan airmatapun mulai tumpah membasahi wajahnya yang sejak tadi sudah terlihat muram.
"Rai, maafkan aku karena baru bisa menjengukmu. Sebenarnya aku malu menemuimu dalam keadaan seperti ini. Aku sudah mengkhianatimu Rai," ucap Jodha lirih diiringi isak tangisnya.
"Jo, bersabarlah... Rai pasti takkan senang melihatmu seperti ini," Jalal memegang pundak Jodha dan menenangkannya.
"Aku mengkhianatinya Jalal... aku mengkhianatinya... aku tak pantas dimaafkan... tak pantas," tangis Jodha semakin terdengar pilu dan Jalal yang tak sanggup melihatnya segera menarik tubuh Jodha kedalam pelukannya. Jodha menangis sejadi jadinya. Ia menumpahkan semua kesedihannya karena kehilangan Rai dengan begitu cepat dan diwaktu yang teramat sangat tidak tepat.