#Kecewa

23 3 2
                                    

"Harum, Mau ke kantin nggak?", tanya Kanes begitu dosen jam terakhir hari ini baru saja keluar dari kelas. Aku baru memasukkan beberapa buku dan alat tulisku kedalam tas lalu menatapnya.

"Nggak usah kali ya, udah sore juga, Nes", kataku sambil menyeleting tas.

"Ya udah", katanya ikut menyeleting tasnya, "Oh iya, pulang sama siapa, Rum?", tanya Kanes dan aku pun menunjukkan ponselku kearahnya yang menunjukkan nama Ilyas yang sedang ku telpon.

Aku kembali menempelkan ponselku ketelinga mendengarkan nada sambung sambil menyandang tas selempangku kepundak sebelah kiri. Begitu nada sambung berakhir, suara Ilyas pun ku dengar.

"Halo, Yas. Jemput ya", pintaku.

"Ya udah, tunggu di halte seperti biasa ya", balasnya.

"Sip!",

Sambungan pun terputus, aku kembali memasukkan ponsel kedalam saku celana jinsku. Ilyas adalah adik laki-lakiku satu-satunya, ia masih duduk di bangku SMA, sebentar lagi ia akan menghadapi hari-hari ujiannya untuk menyelesaikan pendidikannya di bangku SMA. Bagiku dia hebat, bisa berperan sebagai adik sekaligus kakak bagiku, agak berlebihan sebenarnya, tapi aku yakin itu adalah sifat murninya, bukan karena terpaksa. Bahkan, jika orang yang tidak tahu statusku yang sebagai kakak, mungkin mereka akan menganggap aku dan Ilyas adalah adik kakak dengan Ilyas yang sebagai kakaknya dan aku sebagai adiknya, atau kadang juga ada yang menganggap kami sebagai sepasang kekasih. Tapi, selama kenyataannya kami adalah kakak-adik murni, aku dan Ilyas tidak terlalu memusingkan hal itu.

Aku dan Kanes keluar dari kelas, kampus nampak mulai sepi karena beberapa jurusan di fakultas bahasa sastra seni sudah keluar sejak siang tadi. Kami sampai di gerbang kampus, sudah terlihat mobil hitam milik Ayah Kanes terparkir diparkiran kampus. "Oke, kalo gitu aku pulang duluan ya", pamit Kanes dan aku pun melambai sambil tersenyum kearahnya.

"Hati-hati dijalan, Nes", seruku.

"Sama-sama, Rum", balasnya dan masuk kedalam mobil.

Begitu mobil itu keluar dari kawasan kampus, aku terdiam duduk dibawah naungan kanopi halte bus. tak lama ponselku bergetar, aku melihat layar ponsel yang menunjukkan nama Putri―sahabat dekatku semasa SMA―menelponku. Aku tersenyum rindu sambil mengangkat telponnya.

"Halo, Putri!", seruku dengan ceria, membuat Putri terkekeh pelan disebrang telpon sana.

"Halo, Arum. Apa kabar?", tanyanya tak kala antusias, membuatku menyembangkan senyum selebar mungkin.

"Baik, lo gimana disana?",

"Baik juga. Ih, gue udah balik dong ke Jakarta", katanya berbangga hati, tak mampu ku pungkiri aku ikut senang.

"Yang bener? Kapan balik? Kok nggak ngasih tahu sih?", tanyaku bertubi-tubi membuat Putri yang ada disebrang sana tertawa mendengarnya.

"Baru kemarin balik, ini gue lagi ngurusin acara reunian angkatan kita, Rum. Belum dapet kabar ya?",

"Lho, kata siapa mau ada reunian? Iya gue nggak tahu nih, kapan?", tanyaku tak sabar.

"Sabtu ini, pas malem minggu, mungkin jam delapan", jelasnya singkat.

"Yah kok nggak ada yang kabarin sebelumnya sih?", tanyaku dengan nada kecewa.

"Bagian komunikasi kayaknya lupa, Rum. Atau dia nggak punya kontak ke elo. Gue juga nggak tahu deh, yang penting sekarang gue udah telpon lo dan kasih kabar ini. lo harus dateng",

Mataku mengikuti sebuah mobil silver melaju tak jauh didepanku. Aku kenal dengan mobil silver itu, dan ketika bunyi klakson terdengar, barulah aku sadar, itu mobil Ayah. Dengan segera aku bangkit dari kursi halte dan masuk kedalam mobil. Ku lihat sosok Ilyas sudah duduk siap di Balik kemudi. "Boleh gitu bawa mobil sama Ayah?", tanyaku pada Ilyas.

"Buktinya aku bawa mobil ini sekarang kan? Ayah yang suruh tadi", jawabnya dan mulai menjalankan mobil silver milik Ayah ini membelah keramaian jalan.

"Halo, Rum?", oh iya! Aku hampir lupa sama Putri yang menungguku disebrang telpon.

"Eh, maaf Put. Hehe. Iya, gue bakalan dateng kok. Tenang aja. Dimana sih?", tanyaku kembali ketopik pembicaraan bersama Putri sebelumnya.

"Di taman kota, kita bikin tema pesta kebun. Keren deh, semua udah diatur dengan rapi", jelasnya dengan semangat.

"Wah, pasti seru deh. itu semua orang diangkatan kita kan?",

"Iya dong, Ya udah nyokap gue udah manggil tuh, gue tinggal ya", pamitnya.

"Sip! Makasih ya infonya, Put. Salam buat nyokap lo",

"Sama-sama, beib. Salam juga buat nyokap lo. Bye",

"Bye",

Sambungan pun terputus, aku memasukkan ponsel kedalam tas dan fokus pada jalan yang cukup macet didepan kami. Suara lantunan musik terdengar dari radio mobil. Lagunya Andien yang berjudul Pulang pun terdengar merdu, aku menolehkan kepala untuk menatap keluar jendela.

"Kak, Mas Firman kan ada dirumahnya sekarang", ucapan Ilyas berhasil membuatku menoleh dengan kedua mata yang membulat tak percaya.

"Seriusan kamu, Dek?", tanyaku tak yakin, tidak jarang Ilyas selalu mengerjaiku kalau Firman atau pun Ghana sudah pulang kerumah mereka. Bagaimana pun aku memang benar-benar merindukan mereka. Mereka adalah tetangga sekaligus sahabat sejak kecilku, meskipun umur mereka lebih tua lima tahun dariku, mereka melindungiku layaknya kakak laki-lakiku.

"Tadi juga sempet ngobrol bareng", katanya sambil terus fokus kearah jalan didepan kami.

"Kamu nggak bohong kan?", tanyaku sangsi.

"Ya ampun, nggak percayaan banget deh",

"Soalnya kan kamu sering banget bohongin aku, Yas", kataku sedikit kesal.

"Nanti liat aja deh sendiri",

Beberapa saat kami kembali diam, jalan sudah menunjukkan hampir sampai kelingkungan kompleks rumah kami. Dan kini, akhirnya kami sampai didepan rumah. Aku keluar dari mobil untuk membuka pagar rumah, sedangkan itu Ilyas memasukkan mobil kedalam garasi. Sejenak aku berdiri didepan pagar rumah Firman, nampak sepi, bahkan mobil Ayah Phara yang biasanya terparkir rapi di garasi rumah kini nampak tidak ada. Aku menghela napas kecewa, lalu kembali kerumah dan menutup pagar.

"Gimana? Ketemu nggak?", tanya Ilyas yang ingin masuk kedalam rumah, berdiri diambang pintu sambil menatapku yang menutup pagar dan berjalan menghampirinya. Tidak lihat apa wajahku sudah kecewa begini? Masih bertanya pula, batinku kesal.

"Nggak ada orang", jawabku singkat dengan kesal dan melewatinya masuk kedalam rumah lebih dulu.

"Mungkin pergi. Kan kakak tahu sendiri Mas Firman jarang dirumah", ucapan Ilyas hanya ku sahuti dengan anggukan.

"Aku pulang!", seruku sedikit lesu menghampiri Ibu dan Ayah yang nampak duduk rapi dikursi makan mereka masing-masing.

"Ayo makan", ajak Ibu membuatku menggeleng pelan.

"Aku mau mandi dulu", kataku lalu berbalik badan untuk naik kelantai dua rumahku menuju kamar dan membersihkan diri dari kepenatan dihari ini dengan mandi.

Selamat membaca, dan jangan lupa vote dan komennya ya. Hehe. Terimakasih ^ ^

Kita DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang