#Perasaan Ilyas

11 3 0
                                        

Hari Senin, untuk hari ini aku datang sedikit terlambat dari jam biasanya, aku sudah mengatakannya pada Kanes. Dan sekarang, keluargaku, dan keluarga Ghana berada dibandara Soekarno-Hatta. Kami disini seharusnya hanya untuk mengantar keberangkatan keluarga Firman untuk menuju ketanah suci, tapi dengan sangat amat menyesal, pekerjaan yang sudah menumpuk memanggil Ghana untuk kembali Ke Bali dan mengurus semua pekerjaannya hingga selesai. Jadilah kami disini untuk mengantar kepergian keluarga Firman dan Ghana yang sengaja mengambil jadwal keberangkatan ke Bali bersamaan dengan keberangkatan keluarga Firman.

Sebelum mereka masuk kedalam antrian untuk check in, kami pun saling berpelukan dan saling pesan satu sama lain, tapi aku hanya memeluk Firman sekilas karena aku takut pertahananku bocor dan dijadikan tontonan banyak orang nantinya. Begitu mereka meninggalkan kami dan menghilang masuk kedalam pesawat, kami pun memilih untuk sarapan sejenak di bandara, karena memang keluarga Firman dan Ghana mendapat jadwal keberangkatan jam enam pagi, jadi kami tidak sempat untuk sarapan dirumah.

Begitu para orangtua berjalan duluan sambil mengobrol ria, aku dan Ilyas berjalan dibelakang mereka. Menikmati pemandangan bandara yang cukup ramai dengan orang-orang penting.

"Kok nggak nangis, Kak?", pertanyaan Ilyas menarik perhatianku. Aku menatap pria yang baru dewasa disampingku itu dengan kening berkerut.

"Kenapa nangis?", balas tanyaku tidak mengerti.

"Kan ditinggal sama cinta pertamanya pergi", ledeknya sambil tersenyum lebar, sedangkan aku mendengus kesal sambil menatap kearah lain. tapi, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku pun menoleh kembali pada Ilyas yang menatap lurus kedepan.

"Kamu juga ditinggal pergi sama cinta kamu", kataku, dan skakmat! Ilyas diam, bahkan langkahnya terhenti. Wajahnya menunjukkan ekpresi kaget. Tentu saja, dia pasti sangat kaget.

"Kak ...", panggilnya lirih membuat aku menahan senyum lalu menatapnya dengan wajah yang masih nampak shock.

"Apa?", tanyaku membalas panggilannya.

"Kakak ... kenapa bisa berpikir seperti itu?", tanyanya lamat-lamat seolah menutupi semuanya, tidak perlulah ditutupi, aku pun sudah tahu dari gelagatmu itu, batinku merasa puas. Selalu dia yang memojokkanku, sekarang aku bisa memojokkannya juga.

Aku berdiri didepannya, menghiraukan para orangtua yang sudah jalan sedikit jauh dari kami, aku menatap Ilyas tanpa ragu. "Semua sudah tergambar jelas", kataku sambil menggerakkan jari telunjukku membulat seolah menggambar wajah Ilyas diudara. "Tapi aku tidak tahu sejak kapan kamu merasakannya, karena aku baru menyadarinya ketika kita pergi makan malam bersama malam itu", lanjutku sambil bersidekap memperhatikan lurus wajahnya yang nampak mulai membaik dari pada sebelumnya.

"Tidak perlu ada yang tahu lagi. Cukup Kakak, dan itu pun aku sedikit tidak ikhlas", katanya datar sambil berjalan melewatiku yang masih bersidekap ditempat.

Aku membalik badan dan segera mengejar langkahnya, rupanya sosok para orangtua sudah sangat jauh dari jangkauan kami. "Tapi beri tahu aku sejak kapan kamu menyukainya", paksaku sambil menarik lengan baju kemejanya.

"Tidak perlu, aku saja tidak tahu kapan Kakak mulai menyukai Mas Firman", katanya sambil menarik lengannya sendiri agar terlepas dari tarikanku.

"Dek .. aku kan Kakak kamu, masak kamu nggak mau shareing sama aku sih", bujukku masih berusaha menggali sampai yang bisa kudapat.

"Kakak sejak kapan menyukai Mas Firman?", tanyanya membalikkan pertanyaan.

Aku mendengus sejenak lalu menatap kearah lain, nampak berpikir. "Kalau aku beri tahu kamu, kamu harus janji untuk memberi tahu padaku juga", pintaku memkasa, dan jawabannya adalah sebuah anggukan kepala ringan.

"Hmm, sejak SMA mungkin", jawabku yakin tapi ada rasa ragu juga, berusaha membuat Ilyas terkecoh dengan jawabanku.

Ilyas mengernyit sambil menatapku tidak mengerti, "Kok pakai mungkin? Kakak lupa?", tanyanya.

"Ya kan yang kakak tahu kejadian itu sudah lama, mana mungkin kuingat detailnya. Yang ada semua curhatanku sudah ikut terbakar dengan buku diary yang waktu itu kubakar tiga tahun yang lalu", jelasku, sedangkan itu Ilyas hanya terdiam. "Ayo sekarang beritahu aku kapan kamu menyukainya?", pintaku.

Ilyas terdiam sambil menatap kearah depan, sedangkan aku menunggu hingga bibirnya itu terbuka dan terucap olehnya, "Sejak aku dan dia mulai tumbuh dewasa",

Ditunggu vote dan komentnya yaa.. makasih ^ ^

Kita DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang