"You can have anything you want in life if you dress for it."
—Edith HeadSebuah mobil Van berwarna hitam terparkir di depan apartemen Mischa. Arthur, sepupu yang paling dekat dengannya, sudah duduk manis di belakang kemudi sambil menikmati kopi hangat pertamanya di pagi hari. Ia menunggu Mischa yang entah mengapa belum juga turun padahal tadi Mischa menyuruh Arthur untuk menjemput dirinya jam sepuluh sharp karena mereka akan mengunjungi venue tempat Arthur akan mengadakan show-nya seminggu lagi. Arthur mengecek Patek Philip yang melingkar di tangannya. Pukul sepuluh lewat lima belas, tidak pernah Mischa setelat ini.
Ia memutuskan untuk menelepon Mischa, namun sebelum ia sempat mengambil iPhone-nya di atas dashboard, Mischa sudah berlari kecil menuju Van miliknya. Ia terlihat cantik dengan rambut hitam panjang yang dibiarkan terurai. Angin musim panas yang sedikit menyengat, membuat pipinya jadi semakin terlihat kemerahan.
"Maaf, gue telat." Katanya, setelah ia menutup pintu mobil.
Arthur mengedikkan bahu sambil tersenyum simpul. "Lima belas menit, gue heran aja Mrs. Perfectionist ini bisa telat."
"Fashion-nature, you name it."
"Klise, ya. Untung gue nggak begitu."
"Lucky you, our era just different. Lo lahir ketika gue udah mulai menjual karya-karya gue ke berbagai rumah mode."
"Oh, ya! Dan gue baru mulai merangkak pas lo nikah sama si produser sukses itu."
"Sialan!"
Percakapan pagi mereka diawali dengan tawa renyah yang biasanya sering kali absen di kehidupan Mischa. Mischa menepuk pelan rok midi-nya, berusaha membuat roknya tak meninggalkan kerutan yang bisa membuat hari panjangnya jadi kurang sempurna. Arthur mulai mengemudikan mobilnya dari Upper East Side ke Lincoln Center dengan percakapan yang hanya mereka berdua mengerti. Dan tentu saja, dengan bahasa ibu yang kurang dipahami suaminya. Mereka meninggalkan percakapan glamor tentang fashion dan life style. Hanya ada obrolan tentang keluarga dan kemacetan Jakarta yang menjadikan percakapan itu semakin intens.
Sudah dua tahun Mischa tidak pulang ke Indonesia, alasannya, ia mengindari percakapan yang akan mengalir lancar mengenai dirinya yang pasti dilontarkan semua tante dan pamannya. Tiga tahun menikah dan belum memiliki anak, jelas akan memancing mulut pedas para orang tua. Dan yang pasti, ia tidak ingin berkata bohong pada orang tuanya yang selalu menganggap pernikahan anak mereka sudah sempurna seperti karir mereka yang gemilang. Mischa jelas rindu pada negara asalnya, namun ketakutannya membuat ia tidak bisa mengambil pilihan lain untuk tetap tinggal di New York bersama sang suami―yang kelakuannya tak seperti suami, dengan berbagai alasan.
Mischa mengambil gelas karton berisi kopi hangat miliknya, yang tentu saja dibelikan oleh Arthur. Lagi-lagi kafein mengisi tubuh langsingnya tanpa jeda. Life style tak lagi menjadikan kopi sebagai primadona baginya, tubuhnya sudah ketergantungan. Dan tanpa kafein, ia bisa menjadi Cruella De Vil yang tak berhenti mengomel dan mengeluh.
"Gimana New York? Masih betah?" tanya Arthur yang sekarang sudah mengalihkan pandangan dari jalan raya.
"Sibuk, gue belum bosen di sini. I don't know, nggak ada yang membuat gue bosen, selalu ada gemerlap indah di tiap sisinya."
"Kadang keindahan bisa membosankan juga." Arthur membelokkan mobil ke west End Ave.
"Mungkin bukan buat gue. Gue suka New York, kerjaan, kehidupan glamor, dan yang jelas, udara yang bisa terus ngebuat gue sadar seratus persen."
"Dan percintaan?"
"Nggak usah dibahas! Kalo lo mau tanya masalah percintaan, ceritain dulu percintaan lo ke gue. Jangan terus-terusan jadi pengecut yang cuma bahagia meski hanya berada di sebelahnya, bukan di dalamnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)
RomanceRank #5 in Metropop (24 April 2021) "Sometimes, you don't get what you want. But god gives you other things, a way out better as an exchange." Mischa Woo Mardhiata, wanita karir sukses yang menetap di New York atas tuntutan pekerjaan. Menikah denga...