"Masih suka kopi tanpa gula, Cha?" dia yang selalu tersenyum tipis dengan lesung pipi di antara rahangnya yang tegas, membuka obrolan mereka.
"Sedikit sweetener nggak masalah." Mischa memandang pria itu yang terlihat sedikit kaget. Mischa yang ia kenal sudah berubah, meski hanya dalam hal kecil seperti pemanis untuk secangkir kopi hangat yang selalu ia pesan.
"Saya pesen latte buat kamu, untung bawa beberapa bungkus sweetener."
Diletakkannya dua gelas karton kopi di meja. Jade, yang dulu Mischa panggil mas Ade meski nama aslinya sangat bule sekali, terlihat lebih bijaksana dengan garis-garis tipis di sekitar matanya yang sedikit tertutup bingkai kacamatanya. Rambut hitamnya sedikit panjang sampai menutup telinga, meski begitu kesan rapi masih terlihat jelas. Jeans dan kaus polo hijau. Untuk ukuran pria yang sudah kepala empat, penampilan Jade masih terlihat menarik. Ya, jika tidak, Mischa tidak akan jatuh hati setengah mati dulu. Mengingat perbedaan usia mereka yang terpaut cukup jauh, lima belas tahun. Tapi bukan hanya penampilannya saja yang dulu Mischa suka, a whole package yang pria itu tampilkan dapat membuat wanita waras mana pun tertarik.
Tapi itu cerita lama, sudah tidak terasa.
"Gimana kabar Mama, Mas?" tanya Mischa sambil menyesap kopinya.
"Baik, kemarin habis check up alhamdullilah hasilnya bagus. Gimana mama sama papa, Cha?"
"Oke."
"Alhamdullilah." Katanya singkat. Ia tahu, tanpa perlu Mischa berkata panjang lebar. Hubungan orang tua dan anak ini masih seperti dulu, kurang akur.
Mischa sedikit tersenyum, ah, entah kapan terakhir kali ia mendengar alhamdullilah diucapkan dengan sebegitu santainya, pikirnya.
Makanan mereka datang, ayam goreng kremes dan sambal krecek. Tempat makan langgangan mereka dulu, Ayam Goreng Suharti, yang selalu disambangi ketika sedang bingung ingin makan apa. At the end, mereka selalu memilih tempat ini untuk mengisi perut. Mischa langsung menuang sambal krecek ke atas nasi, dan meyantapnya hanya dengan kremesnya saja. Jade, seperti sudah biasa, memberikan sebagian kremes di piringnya ke piring Mischa. Mereka menikmati makanan dengan khusyuk.
"Jadi sekarang kerja di sini?" Mischa memandang Jade, fokusnya teralih dari makanan di piringnya.
"Ya," katanya. Mischa sudah menduga, Jade sudah dengar kabar perceraiannya dari entah media apa, atau bahkan dari mulut orang-orang yang tidak bisa direm.
"Masih ngajar, Mas?"
"Masih. Ngajar satu-satunya sandaran saya sekarang."
"Oh... gitu." Dia belum menikah lagi setelah cerai degan istrinya setelah Mischa, informasi itu dengan cepat ditangkapnya. Dua orang yang gagal membina rumah tangga kini berbagi meja untuk makan siang. Seakan kurang aneh, keduanya kini bertemu di tempat kesukaan mereka.
"Kurang nggak kreceknya?"
Mischa menggeleng pelan, "nggak, ini udah lebih dari porsi yang harusnya aku makan."
"Oke... Cha, kamu inget Adisti?"
"Adisti?" dengan kerutan di dahi, Mischa mengorek memorinya.
"Kurator yang dulu ketemu kita di Hilton." Jade memberikan lagi sisa kremesnya pada Mischa.
"Oh, iya inget, kenapa?"
"Dia ngundang kamu buat dateng ke pameran seni, Lust of Millennials. Dia jadi kurator di sana."
"Di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)
RomanceRank #5 in Metropop (24 April 2021) "Sometimes, you don't get what you want. But god gives you other things, a way out better as an exchange." Mischa Woo Mardhiata, wanita karir sukses yang menetap di New York atas tuntutan pekerjaan. Menikah denga...