Dua Puluh Dua : Friendly Disguise

1.5K 169 4
                                    


"Kau tahu mengapa wanita selalu bersemangat dalam memilih baju pernikahan mereka?" Nate sedang duduk di kursi taman saat itu, disebelahnya seorang wanita dengan mantel tebal sedang mengosokkan tangan satu sama lain.

    "Kenapa?" tanya Nate tidak terlalu penasaran.

    "Karena pakaian itu yang akan mengangkat derajat mereka. Pakaian itu yang akan mewakili title mereka selanjutnya, istri dari entah siapa untuk seumur hidupnya. Hanya dengan sebuah gaun."

    Nate menoleh pada akhirnya, dan terpana dengan apa yang sang wanita sampaikan. Ia tidak pernah menyangka, dalam diri wanita yang menganggap remeh pernikahan kontrak mereka ada sisi lain yang mengagungkan sebuah hubungan sakral. Mungkin ia sudah terlanjur kecewa dan pasrah pada kegagalannya, namun Nate yakin, masih ada sedikit pengharapan pada wanita itu akan masa depan pernikahannya nanti meski itu bukan bersama dengan Nate.

    Mereka bedua diam kemudian. Hanya ada deru angin bulan November yang menemani pikiran masing-masing.

    Nate terbangun, mimpi yang dikiranya sudah terkubur jauh ternyata masih bisa merangkak naik pada alam bawah sadarnya. Ia duduk di kasur dan menatap Sonja yang sedang terlelap. Mungkin mimpi itu hadir karena kemarin ia dan Sonja sibuk memilih pakaian untuk hari besar mereka. Sonja sudah menentukan pilihan, gaun dengan brokat yang agak terbuka pada bagian dada dengan furing tebal yang membuat gaunnya terlihat elok. Detail embroidery berbentuk bunga menghiasi bahu putihnya, berbeda dengan Mischa yang hanya memilih gaun satin sederhana yang membalut tubuhnya yang mungil. Namun ia tetap terlihat cantik dalam kesederhanaan seharga sepuluh ribu dollar.    

    Peluhnya mengalir, mimpi itu lagi.

    Ia pergi ke dapur untuk mengambil air dingin. Dinyalakannya laptop untuk kembali bekerja. Di saat seperti ini, saat semua orang hanya tahu bahwa ia akan segera menikah, separuh hatinya masih tidak bisa berpaling terlebih karena apa yang disampaikan Lydia tempo hari. Satu hal yang pasti, masih ada sedikit keraguan bergelayut dalam dirinya.

***

Live house sudah penuh, kali ini bukan Nate yang berada dipanggung dengan lampu sorot yang intens menyoroti sang penyanyi. Ia duduk di bangku depan bartender, menikmati minumannya sendiri sembari sibuk dengan pikirannya. Sudah dua hari ia tidak pulang, beberapa panggilan Sonja memang ia jawab, namun ia tidak membiarkan Sonja ada disekitarnya untuk saat ini. Terdengar egois memang, tapi Nate butuh sendiri. Tempatnya tinggal bukan lagi tempat yang bisa memberikan energi baginya. Tiap jengkat tempat tinggalnya itu sudah ada tanda Sonja. Dari pigura foto dirinya dan Sonja, magnet-magnet lucu yang Sonja beli di pasar loak, buku-buku bacaan juga milik Sonja, sampai sikat gigi dalam gelas kaca yang biasanya sendirian kini memiliki teman.

    Ia tak lagi tinggal di studio seperti dulu, atau pun menumpang tidur di tempat Greg. Kali ini ia memilih hotel bintang tiga yang sempit. Yang cukup untuk menjadi tempat ia beristirahat sembari memandangi jalanan kumuh pinggiran New York yang dipenuhi puntung rokok dan bau alkohol bersatu memuakkan. Besok ia akan pulang, begitu niatnya. Oelh karena itu, malam ini ia ingin memuaskan diri dengan minum sendirian di tengah ramainya live house sendirian. Suguan malam dengan suara merdu penyanyi yang namanya tak terkenal mengalum menemani puluhan orang yang sibuk berbincang atau pun sama seperti dirinya yang sedang mencari suaka untuk menumpahkan kepenatan setelah seharian lelah beraktivitas.

    "Mau tambah lagi?" bartender tinggi dengan wajah kisaran awal dua puluhan memandangnya sambil tersenyum ramah.

    "Satu shot lagi." Nate memberikan gelasnya.

***

"Mau kopi?" Greg mengulurkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap pada Nate. Diambilnya cangkir itu sembari ia sibuk menekuni berkas-berkas perjanjian kerja yang baru.

Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang