Dua Puluh Tiga : Masa Lalu

1.7K 179 11
                                    

NB. Ide ini muncul saat lagi dengerin lagu barunya Rendy Pandugo, Why? Sambil liat foto-foto lama. Sejujurnya aku sedang nggak ada ide sama sekali karena belakangan malah sibuk nontonin yutup aja tentang makan-makan sama politik (yes I like politic nowadays, past job trigger it). Tapi akhirnya bisa nulis lagi karena lagu. So I hope you enjoy this chapter!



"Jangan bilang karena gue lo mengakhiri hubungan lo sama tunangan lo itu dulu." Mischa mengais ingatannya akan kandasnya hubungan Abde dan tunangannya dulu. Awalnya Mischa menganggap bahwa memang Abde tidak cocok dengan wanita berparas ayu yang ia lihat hanya dari fotonya saja. Tapi akhirnya ia sadar, semua perkataan Abde tentang sosok yang disukainya sejak dulu.

Terlalu cepat, terlalu tiba-tiba.

"Nggak gitu, Cha."

"Lo bohong kalo kalian ternyata nggak cocok, kan?"

Micha memandang Abde meghakimi.

"Kami memang nggak cocok."

"Abde..."

"Cha, yang gue yakini sekarang bahwa gue sayang sama lo dan gue mau nikah sama lo. That's it. Plis jangan disangkut pautkan sama yang lain."

"Nggak semudah itu." Mischa meremas kedua tangannya yang terpaut, rasa sesak itu datang lagi. Sesak yang menyakitkan yang membuat semua syarafnya seakan menjerit.

Lagi-lagi ketakutannya muncul kembali. Rasa takut untuk dicintai, rasa takut untuk diharapkan, rasa takut yang membuat napasnya tidak teratur. Rasanya saat ini ia ingin menjadi seseorang yang nyaris tak terlihat agar ia tak perlu merasakan luapan emosi merah muda itu.

Ia menyenderkan kepalanya ke jok kursi, "so, selama ini permainan apa yang lo pikir sedang gue jalanin dengan lo, Cha?"

Flirting tolol? Mischa hampir mengatakannya jika otaknya tidak buru-buru menarik tuas kendali dirinya sendiri. Tapi memang, kan? Mana ada teman pria yang ikhlas-ikhlas saja dijadikan guling semalaman tanpa melakukan apa-apa yang tak pantas? Mana ada teman pria yang welcome saja bibirnya dikecup tanpa ada nafsu meletup? Di mana harus mencari teman pria yang rela dijadikan supir kemana-mana, guide ketika libur, atau tukang pijat ketika kaki lelah setelah mengitari mall yang satu ke mall yang lain demi mencari properti untuk majalah atau rela jalan dengannya ke halte Polda sore hari demi take away ayam goreng gerobak setelah parkir mobil di Pacific Place? Mana? Coba bisakah sodorkan satu?

"Gue nggak bisa hamil, De."

"Trus kenapa, Cha? Cukup dengan kita berdua aja, atau kalau lo mau kita bisa adopsi kalo kita merasa agak kesepian."

"Nggak gitu, De."

"Cha, gue bukan mas Ade," kata Abde sedikit frustasi, "nyokap gue juga bukan nyokap Mas Ade. Nggak bisa hamil nggak bikin lo otomatis dibenci dan berhak di beri label nggak pantes."

"Lo nggak ngerti, nggak segampang itu. Lo dan nyokap lo mungkin nggak akan mempermasalahkan kekurangan gue ini, tapi seiring berjalannya waktu semua itu berubah, De. Lingkungan sekitar, temen-temen, bahkan diri lo sendiri akan berubah dan nge-judge gue. Dunia langsung berporos ke gue, ke tidak sempurnaan gue, dan semuanya bakalan nyalahin gue, bandingin gue, dan I'll be back to square one. Insecure, being more traumatized because more trauma doesn't make me stronger, it just makes me more traumatized."

Mischa terengah-engah. Pikiran dan perasaan yang selama ini ada dalam dirinya keluar sudah. Tapi ia tidak lega, tangannya bergetar dan dadanya sesak.

Eat, Drink, and Be Married (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang