PART 6

241 28 0
                                    


-ENAM-

Someone's POV

"Hah" nafas kasar, keluar dari mulut gue.

Gue capek. Mata gue menelusuri -lagi- seluruh sudut apartemen baru gue. Senyum merekah di bibir gue. Gue puas sama hasil tatanan gue. Gue lagi duduk di sofa.

"Gama! Lo dengerin gue gak sih?" itu Juna. Sepupu gue. Gue tinggal disini sama dia. Gue ngelirik dia. Dia berdiri di depan gue dengan tangan menggantung dan menggenggam gelas.

Gue menerima gelas itu. Ice choco. Gue menyesap ice choco itu. Juna duduk disamping gue, "Gue gak nyangka lo beneran pindah kesini. Cuma gara-gara cewek"

Gue tersenyum tipis. "Dia bukan sekeedar cewek. Dia sahabat gue dari kecil. Gue ngerasa beda waktu dia pindah kesini"

"Jadi, besok kita udah masuk sekolah?" Juna mengalihkan pembicaraan.

Gue mengangguk. "Gue gak sabar buat besok" gumam gue lirih, "Seva"

*****

Seva

"Seva!" Dena berlari kecil ke arah gue. Dan berhenti tepat di depan gue.

"Apaan?"

"Tungguin gue! Gila rapat nya lama banget!" Dena mengemasi barang-barangnya.

Ini emang udah jamnya pulang. Gue masih di kelas. Cira, Frei sama Lina juga udah pulang. Gue hari ini piket. Jadi gue pulang lama. "Emangnya lagi ada apa sih?"

Sekarang kita lagi jalan di koridor, "Besok ada 2 murid baru. Trus, yang PH harus nemenin keliling sekolah. Dan gue yang dipilih"

"Murid baru? Keliling sekolah? Kok gue gak kayak gitu?" gue kaget. Gue aja gak diajak keliling sekolah. Apa ini yang dinamakan pilih kasih? Ah. Gue mulai drama.

"Elah, sev. Itu kan tugasnya si Raka" jelas Dena. Oh pantes.

"Oh. Trus besok murid barunya cowok apa cewek?"

"Gak tau. Liat aja besok" Dena mengedikkan bahunya, "Eng, gue pulang dulu ya. Gue udah di jemput. Bye!" Dena berlari kecil ke arah mobil putih.

"Bye!"

Gue sendirian nih?

PLETAK

"Aduh! Man!" siapa juga sih yang mukul kepala gue. Aih. Sakit.

"Kita pulang sekarang!" Raka udah jalan di depan gue.

Gue mengumpat pelan. Dan gue berlari kecil menyusul dia. Dia naik motor. Kita emang masih SMP, tapi bukan berarti Raka cowok nakal. Dia naik motor ke sekolah karena Pak Anto lagi sakit. Dia emang baik.

"Nih!" dia udah naik motor sambil ngasih gue helm. Gue menerima helm itu dan naik motor.

Di perjalanan kita cuma diam aja. Hah. Hal yang paling gak gue suka. Dan tanpa gue sadari, kita udah berhenti di depan sebuah kafe. Gue menatap kafe itu lama. Ini bukan HighCafe. Gue nengok ke atas. 'Antartika Cafe'.

"Seva" panggil Raka yang ternyata udah mau masuk. Dengan cepat, gue langsung turun

"Kita ngapain kesini?" dengan susah payah, gue berusaha menyamai langkah Raka

Dia tersenyum tipis, "Ini tempat favorit gue"

"Oh"

Raka membuka pintu, kita berdua masuk ke dalam kafe. Dan seperti kafe pada umumnya, hal pertama yang gue cium adalah aroma kopi. Mata gue menelusuri tiap sudut kafe ini. Kafe ini tidak sebagus HighCafe tapi memberi kesan tersendiri. Semua disini serba putih. Seperti salju. Yah. Namanya juga 'Antartika Cafe'. Suasananya lebih tenang dan ditambah ada air mancur di samping kafe ini yang terlihat jelas melalui kaca.

Kita berdua duduk di pojok. Disini dapat terlihat jelas air mancur tadi lewat jendela. Entah kenapa Raka memilih pojok. Mungkin ini tempat favoritnya. Tak lama kemudian seorang pelayan cantik berjalan menuju meja kami. Dia tersenyum manis.

"Mau pesan apa?" dia bertanya dengan ramah. Ini nilai plus buat Antartika Cafe.

"Capucino" Raka menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari air mancur

"Chococino pake es ya mbak" gue tersenyum. Mbak-mbak tadi terenyum manis.

"Tunggu sebentar ya" Mbak-mbak tadi tersenyum sebelum melenggang pergi.

Gue mengalihkan pandangan ke Raka. Dia diem aja. "Lo kenapa sih?"

Dia menggeleng pelan, "Gue gak kenapa-napa"

"Hah" hembusan nafas keluar dari mulut gue, "Gue gak mau maksa lo buat cerita. Tapi gue tau lo ada masalah. Lo bisa cerita ke gue kapan aja" gue tersenyum

Dia menatap gue lama lalu tersenyum, "Dasar cadel" gumamnya pelan tapi gue masih bisa mendengar itu

"Kampret lo! Gue udah gak cadel kali" jitakan gue mendarat mulus di kepalanya. Dia malah ketawa. Aneh. Tapi yah, setidaknya dia udah bisa ketawa kan?

*****

Gama

"Gama! Itu Seva kan?" pertanyaan Juna -yang menurut gue lebih ke pernyataan- membuat gue menoleh ke arah pandangannya

Deg

Itu emang Seva. Ternyata dia juga kesini. Tapi tunggu! "Itu pacarnya?"

Juna mengedikkan bahunya, "Ya mana gue tau Gam!"

Kita baru aja masuk ke kafe ini. Dan gue memilih duduk di tempat dimana gue bisa liat dia dengan jelas, tapi dia gak bisa liat gue (Nah, ngerti gak?). Dia sama aja kayak dulu. Masih rapuh.

"Cowoknya ganteng ya?" celetukan Juna membuat gue melongo. Biar gue jelasin, Juna punya sifat menilai ganteng atau enggaknya cowok. Bukan sifat sih-- lebih tepatnya kebiasaan. Bukannya dia gak normal, bentar lagi pasti dia bakalan--

"Ganteng. Tapi ganteng gue. Putih juga putih gue. Kulitnya juga mulusan gue. Pasti keringatnya lebih wangi gue" dia emang aneh. Padahal gue belum selesai ngomong loo. Dia suka membanding-bandingkan (walaupun emang ada benernya juga sih)

Gue mengalihkan pandangan gue ke Seva. Dia lagi berhaha-hihi sama cowok didepannya sambil sesekali menyesap minumannya. Pasti chococino. Gue tau semuanya--enggak semua sih. Gue mengacak-ngacak rambut gue. Gue makin gak sabar buat besok. Gue udah bisa bayangin gimana ekspresi Seva.

"Gama! Lo dengerin gue gak sih? Lo jahat ih! Gak mau dengerin gue!" Juna mencak-mencak kayak cewek lagi PMS.

"Apaan sih? Jun-Jun" gue memutar bola mata gue. Bosan.

Dia cemberut 5 cm. "Tau ah!"

Dia kayak cewek. Lebih serem dari cewek lagi PMS. Dia benar-benar mirip dengan om Andi -ayahnya- yang juga kayak gini. Anak sama bapak sama aja.

"GAMA!" Juna emang kayak cewek

Gue menoleh ke Juna, "Apaan sih?" gue harus ekstra sabar

"Seva udah pulang tuh!" Juna menunjuk ke arah Seva yang udah keluar dari kafe, "Lo gak mau nyapa dia?"

Gue menggeleng, "Enggak. Besok juga ketemu kan?"

Juna cuma bilang 'o' tanpa suara. Gue terus menatap Seva dari sini. Sampai dia udah pergi. Tunggu gue ya Sev!

--Journey--

a.n

Hai hai. Gimana? Konflik nya masih kurang ya? Harap maklum ya! Masih amatir. Ahaha.

Jangan lupa vommentnya. Muah

JOURNEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang