Epilog

6K 393 112
                                    

"Amaaar...!" teriak Risa pada Amar, yang akan masuk ke dalam mobil. 

Beberapa jam yang yang lalu saat Risa sudah pulang dari makam, dia mendapati Silena sudah ada di rumahnya. Silena datang padanya dan memberitahu jika malam ini Amar akan pergi ke luar negeri meninggalkan Bandung untuk kuliah.

Silena menceritakan semua tentang Amar pada Risa mulai dari perasaan bersalah Amar yang menyebabkan kematian kakaknya, tapi dia harus berusaha tegar di depan Risa yang sedang depresi sampai perasaan Amar yang selama ini telah memendam rasa cinta untuk Risa dan Silena juga tak lupa menceritakan anak lelaki yang diangkat oleh keluarga Amar dan diberinama Zain karena wajahnya mirip Zain.

"Kamu harus maafin dia, Ris."

"Tapi dia yang udah nyebabin Zain ngejauh dari aku."

"Apa Amar yang minta itu semua pada Zain? Tidak! Dia tidak meminta itu! Zain sendiri yang sudah memutuskan untuk menjauh darimu demi Amar, jadi jangan salahkan Amar yang sangat mencintaimu dan bertahan di sisimu selama ini."

Risa tersadar dengan apa yang dikatakan Silena. Gadis itu benar, Risa tak seharusnya menyalahkan Amar yang selalu ada untuknya.

"Kejar dia, Ris, sebelum kamu kehilangan dia untuk selamanya."

"Maksud kamu apa?" Risa mengernyitkan alis meminta penjelasan pada Silena.

"Dia akan meninggalkan Bandung dan akan menetap di Newyork untuk bisa melupakanmu."

"Kenapa dia nggak pamit ke aku?"

Silena mencibir Risa, "Bagaimana bisa pamit jika setiap kali dia meneleponmu, kamu merejeknya."

Risa menundukkan kepala. Memang dia menolak semua telepon dan juga menghapus pesan yang dikirim oleh Amar sebelum dibacanya.

"Ayo!" Silena menarik tangan Risa untuk berdiri dari sofa yang sedang didudukinya.

"Kemana?"

Silena menepuk keningnya. "Ke Mal."

"Males ah." Risa melepaskan tangan Silena.

"Rumah Amar," kesal Silena. "Ngejar Amar."

"Tapi lo temenin ya?"

"Hah?"

"Aku malu."

"Umur kamu itu udah dua puluh empat tahun, dan kamu malu ngejar cinta kamu? oh... come on. Dimana lagi coba kamu bakalan nemu brondong mapan, tampan, dan kaya seperti Amar?"

"Di rumahnya." Risa cengengesan.

"Oke, aku temenin, tapi aku tunggu di mobil, ya?"

"Yeee...." Risa berdiri dan memeluk Silena.

Dan di sinilah Risa, berdiri beberapa meter di belakang Amar yang sedang membuka pintu mobilnya.

"Amaaarrr...!"

Baru dipanggilan ketiga, Amar berhenti dari aktivitasnya memasukan koper ke dalam bagasi.

"Jangan pergi!"

Amar bergeming di tempatnya, dia tak memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang memanggilnya, karena tanpa melihat pun dia tahu itu adalah Risa, perempuan yang sangat dicintainya.

"Jangan tinggalin aku." Risa memeluk Amar dari belakang. "Aku cinta kamu."

Deg. Jantung Amar berdetak sangat kencang dan perasaan hangat mengalir ke hatinya. Dia sangat bahagia mengetahui Risa mencintainya.

"Sejak kapan?" Amar memutar tubuhnya.

Risa tak menjawab, dia malah menundukkan kepala. Malu. Seumur hidupnya, ini yang pertama kalinya dia menyatakan cinta. 

Dulu waktu Zain menyatakan cinta, dia langsung menjawab iya karena meraka saling mencintai sejak awal, tapi pada Amar, cinta mereka harus melewati berbagai masalah dan sempat terpisah oleh jarak dan waktu, jadi Risa merasa malu apalagi usia Amar lebih muda darinya.

Amar mengangkat dagu Risa untuk bisa menatap mata gadis itu. "Sejak kapan?"

"Aku gak tau pastinya kapan aku cinta kamu, tapi sebulan yang lalu saat kamu ada tugas kampus dan gak nemenin aku, aku sadar kalo aku gak bisa pisah sama kamu, dan aku cinta kamu."

Amar tersenyum senang.

"Jadi plis... jangan tinggalin aku." Air mata Risa keluar. Dia mencengkram jas hitam Amar, yang malam itu masih memakai pakaian yang sama sejak tadi siang setelah dari makam langsung mengikuti seminar di salah satu hotel karena memang dia tidak punya waktu banyak untuk ganti baju, dia harus bergegas pergi karena ada urusan penting.

"Aku hanya pergi ke Newyork."

"Aku tau, tapi kamu akan menetap selamanya di sana kan? Dan nggak akan balik lagi ke sini?"

"Hah?"

"Plisss... jangan pergi."

Di saat yang bersamaan suara dering ponsel Amar berbunyi. Setelah mengangkat dan menjawab telepon itu, Amar kembali berkata pada Risa, "Aku harus pergi."

"Jangan pergi." Risa semakin erat mencengkram kemeja Amar. "Maafin aku."

"Kalo aku nggak pergi, nanti yang jemput oma dan opa aku siapa?"

Risa membelalakkan matanya. Jadi, Amar tidak pergi ke Newyork untuk menetap di sana selamanya, tapi dia ke sana untuk menjemput nenek dan kakeknya.

Silena...! Geram Risa dalam hatinya yang baru menyadari kalau dia dikerjai oleh gadis itu.

"Jadi kamu...?"

Amar mengangguk. Risa mengerucutkan bibirnya kesal.

"Tunggu aku lamar kamu ya, sepulangnya dari Newyork," kata Amar sambil mencium puncak kepala Risa.

Blussshhh. Pipi Risa merona merah.

"Aku pergi dulu." Amar memeluk Risa sebelum dia masuk ke dalam mobil dan melajukannya meninggalkan Risa yang terus menatap kepergiannya.

" Amar memeluk Risa sebelum dia masuk ke dalam mobil dan melajukannya meninggalkan Risa yang terus menatap kepergiannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku akan menunggumu, Cinta.

Risa melambaikan tangannya pada mobil Amar yang sudah semakin menjauh dari pandangannya. Kemudian dia tersenyum memandang langit sebelum dia masuk ke dalam mobil dimana Silena tengah menunggunya.

Terima kasih Hati atas cintamu.

The End  

Si SheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang