Hari minggu ini, Amar bangun siang. Sekitar pukul sepuluh, dia turun ke dapur untuk mengambil air minum. Sesampainya di sana, dia terperangah melihat pemandangan di hadapannya, dia melihat ibunya dan Risa sedang memasak sambil bercanda tawa. Amar mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak rusak."Ngapain lo di sini?"
Kedua perempuan beda usia itu mengalihkan pandangannya pada Amar yang tengah berdiri menyandarkan tubuh ke pintu kulkas.
"Kalian sudah saling kenal?" tanya Nayla.
Amar tak menjawab, dia mengambil gelas dan membuka kulkas lalu mengambil botol air dan menuangkannya ke dalam gelas.
"Bukan kenal lagi Tan, tapi kita sangat akrab."
Amar tersedak menyemburkan air yang sedang diminumnya mendengar pengakuan Risa yang jauh dari kenyataan. "Uhuk... uhuk...!"
Nayla berjalan khawatir ke arah Amar. "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" dia mengelus punggung Amar.
Amar mengangguk. "Aku mandi dulu." Setelah menyimpan gelasnya di tempat cucian, dia berjalan menuju kamarnya.
Risa merasa heran melihat tingkah Amar yang terasa dingin dan seolah-olah menghindar dari ibunya.
"Maaf ya, Amar seperti itu orangnya. Dia itu irit bicara, tertutup, dan kaku, tapi dia itu sebenarnya tidak seperti itu," ucap Nayla membangunkan Risa dari lamunan sesaatnya.
"Kenapa dia seperti itu, Tan?" tanya Risa yang semakin penasaran dengan sosok Amar yang dikenalnya selama ini tidak irit bicara bahkan cenderung terbuka, tapi kenapa saat berbicara pada ibunya sendiri, dia seakan menjauh dan menghindari pembicaraan.
Nayla berhenti mengiris wortel. Pandangannya kosong melihat ke depan lalu menatap Risa. "Sejak kematian ayahnya, Amar yang ceria berubah pemurung, apalagi sejak Tante menikah kembali dengan lelaki lain, Amar semakin menutup dirinya sendiri. Dia berbicara hanya seperlunya dan semakin hari menjauhi kami." Nayla terlihat sedih.
Risa menggenggam tangan Nayla.
"Kamu mau kan bantu Tante?"
"Kalo aku bisa pasti aku akan bantu Tante."
Nayla tersenyum.
"Tolong kembalikan kecerian Amar. Sepertinya hubungan kalian sangat dekat."
Risa menelan ludah. Dia pacarnya Zain, tapi kenapa harus dirinya yang membantu Amar.
"Tante mohon." Nayla sangat berharap Risa mau membantunya.
Melihat pengharapan yang begitu besar di mata Nayla, membuat Risa tak tega untuk menolaknya. Setelah bergelut dengan hatinya, akhirnya dia menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih." Nayla memeluk Risa, kemudian mereka kembali memasak.
Tak terasa semburat jingga sudah menghiasi langit, itu tandanya sore sudah tiba. Risa sangat senang bisa bertemu dengan semua anggota keluarga Zain, bahkan mereka makan siang bersama.
"Kamu mau ke mana?" tanya Nayla pada Zain yang bangkit dari sofa. Saat ini semua keluarga termasuk Risa kecuali Amar, sedang berkumpul menonton televisi di ruang keluarga.
"Aku harus ke rumah Kai mengambil materi kuliah."
"Kalo gitu aku pulang sekarang aja biar sekalian sama kamu," kata Risa.
Zain melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Rumah Kai nggak searah sama rumah kamu, dan aku harus buru-buru karna Kai ada keperluan lain, jadi aku harus cepat sampai di rumahnya sebelum dia pergi."
Risa tampak sedih karena Zain sudah semakin berubah. Dulu Zain selalu mengantar jemputnya bahkan menunggu gadis itu pulang kuliah walaupun jadwal kuliah mereka tidak sama, tapi sekarang jangankan menunggunya kuliah, mengantarkan pulang saja sepertinya Zain sudah tidak mau.
"Maaf, aku nggak bisa nganterin kamu pulang." Zain mengelus rambut Risa. Dia sangat menyesal tak bisa mengantarkan Risa pulang.
Risa mengangguk. "Aku pulang pake GoCar aja."
"Jangan pakai GoCar, nanti Tante suruh Amar anterin kamu."
"Nggak usah Tan, aku pulang naik GoCar aja."
"Kamu pulang dianter Amar aja, ya," bujuk Zain.
"Tapi..."
"Sebagai permintaan maaf karna aku nggak bisa nganterin kamu."
Akhirnya Risa mengangguk.
"Kalo gitu aku pergi dulu."
"Hati-hati," ucap Risa dengan hati sedih. Dia terus menatap punggung Zain yang semakin menjauh dari pandangannya.
"Kamu mau pulang sekarang?"
Risa mengangguk.
"Kalo gitu Tante panggil Amar dulu." Nayla beranjak dari duduknya, dia berjalan ke halaman depan rumahnya di mana Amar sedang bermain basket.
"Amar!" panggil Nayla yang membuat Amar menghentikan drible bola dan berjalan ke arah ibunya. "Kamu anterin Risa pulang sekarang," lanjut Nayla setelah Amar berada di hadapannya. "Tidak boleh menolak!" kata Nayla saat Amar akan membuka mulutnya untuk menolak perintah ibunya.
Tanpa berkata-kata, Amar berjalan ke arah ruang keluarga. "Ayo pulang!"
Risa memutar kepalanya mendengar Amar berbicara di belakangnya.
"Jangan galak-galak sama cewek cantik," kata ayahnya yang sedang membaca koran.
"Sekarang atau nggak!"
Risa segera beranjak dari sofa. Dia berjalan menyalami Dewa dan mengambil tasnya yang tergeletak di sofa. "Aku pamit dulu sama Tante."
"Nggak perlu!" Amar menarik tangan Risa yang akan berjalan menuju Nayla keluar rumah.
"Ntar kalo Tante Nayla nganggap gue gak sopan karena nggak pamit gimana? Gue nggak mau dipecat sebagai menantu."
"Ntar gue bilang." Amar memberikan helm pada Risa dan memakaikannya karena gadis itu hanya terdiam di tempatnya tanpa mau mengambil helm dari tangan Amar. Dia masih kesal pada Amar yang menariknya paksa sebelum dia pamit pada Nayla. "Naik!"
Dengan terpaksa Risa naik ke boncengan Amar.
Disepanjang jalan menuju rumah Risa hanya ada keheningan di antara mereka sampai akhirnya motor Amar tiba di depan gerbang rumah Risa.
Risa turun dari motor, membuka helm, dan memberikannya pada Amar sambil berkata, "Makasih ya."
Amar mengangguk sebagai jawaban, mengambil helm, dan meletakannya di belakang motor.
"Mampir dulu?" tawar Risa.
Amar menggeleng. "Boleh gak gue nanya sesuatu sama lo?" akhirnya suara Amar keluar.
"Nanya apa?"
"Siapa nama temen lo?"
Risa mengernyitkan alis bingung. "Temen yang mana?"
"Temen yang waktu itu ketemu gue?"
"Hah?" Risa semakin bingung dengan orang yang dibicarakan Amar.
"Cewek yang lo panggil Si."
"Yang mana sih?"
"Yang jelas dia cewek yang lebih putih, lebih panjang rambutnya, dan yang lebih cantik dari lo."
Risa langsung melayangkan tasnya ke kepala Amar saat mengatakan temannya lebih cantik dari dirinya.
"Kenapa lo mukul gue?!" Amar mengusap kepalanya, dia tak menyangka jika candaannya berbuah pukulan untuknya.
Tanpa menjawab protes Amar, Risa melangkah membuka pintu gerbang dan masuk ke rumahnya meninggalkan Amar yang tersenyum melihat Risa yang marah padanya karena telah memuji perempuan lain lebih cantik darinya.
~ Si She ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Si She
FanfictionSi She, dia perempuan. Si She adalah tambatan hati, cahaya jiwa, penyemangat, dan tumpuan hidup bagi lelaki tampan bernama Ananda Amar Wardana. Lelaki bermata lentik ini sudah menaruh rasa cinta selama satu tahun lebih untuk seorang perempuan yang d...