Chapter 2

1.6K 182 45
                                    

Sore ini Amar sedang bersiap diri di kamar untuk pergi latihan basket ketika sang ibu, Nayla memanggilnya, "Amar...! Amar...! Amar...!" Nayla mengetuk pintu kamar Amar.

"Ada apa Mom?" Amar keluar dengan menggendong tas di punggung dan juga bola basket yang ditenteng di tangan.

"Kamu jaga Zain ya, soalnya Momy mau pergi arisan," ucap Nayla sambil memeriksa barang-barang yang ada dalam tasnya.

Amar membelalakkan mata. Dia tidak percaya harus menjaga Zain yang terkena DBD dan kini sudah berada di rumah setelah dirawat selama seminggu lebih di rumah sakit. "Mom, aku mau latihan basket."

"Cancel latihannya."

"Sebulan lagi aku akan tanding basket Mom, jadi aku harus latihan."

"Tapi kakak kamu nggak ada yang jaga."

"Kan ada bi Minah."

"Bi Minah lagi ke pasar." Nayla melihat jam di pergelangan tangannya. "Momy udah telat nih. Pokoknya Momy gak mau tahu, kamu harus jaga Zain selama Momy belum pulang." Nayla mencium pipi Amar.

"Tapi Mom," Amar masih protes.

Nayla melotot sebelum anaknya protes lagi. Kalau sudah begitu, Amar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia pasrah dengan perintah ibunya.

"Oke."

"I love you." Bukan tanpa alasan Nayla menyuruh Amar menjaga Zain, tapi dia melakukan itu semata-mata untuk mendekatkan kembali rasa persaudaraan Amar dan Zain yang renggang.

"Love you too Mom," balas Amar. Dia kembali memasuki kamarnya, menyimpan tas di meja belajar, dan mengganti bajunya. Lalu dia berjalan ke arah kamar Zain dan masuk setelah mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Tumben masuk kamar gue," ucap Zain yang melihat sekilas Amar saat adiknya itu masuk ke dalam kamarnya lalu dia alihkan kembali pandangannya pada game di tabletnya yang sejak tadi dia mainkan.

"Terpaksa," jawab Amar sambil menyilangkan tangannya di dada. Dia berdiri di depan ranjang Zain.

Zain tersenyum. Dia sangat senang Amar mau masuk ke dalam kamarnya walaupun terpaksa disuruh ibunya. "Terus ngapain lo berdiri di sana? Sini duduk deket Abang." Dia menggoda Amar dengan menepuk kasur. Mimik wajahnya dibuat seperti seorang wanita yang sedang merayu laki-laki.

"Najis lo!" Amar mengambil guling dan melemparkannya pada Zain.

"Hahaha...," Zain terbahak sangat keras. "Dasar adik durhaka lo!"

Zain masih tertawa saat bel rumah berbunyi.

"Gue buka pintu dulu."

Zain mengernyitkan alisnya. "Sejak kapan lo jadi bi Minah?"

"Sialan lo!" Amar terlihat kesal. Dia berjalan keluar kamar Zain.

"Sekalian bawain gue cemilan ya!" teriak Zain sebelum pintu kamarnya tertutup.

Amar semakin kesal saat bel rumahnya terus berbunyi. Tamu itu tidak tahu kalau untuk mencapai pintu masuk, Amar harus berjalan dari lantai dua, menuruni tangga, melewati ruang keluarga, ruang tengah, dan ruang tamu dahulu.

Amar membuka pintu dengan kasar dan mendapati perempuan cantik, berpipi chubby, berkulit putih, berhidung mancung, dan bermata hazel tengah berdiri dengan angkuh menatap Amar penuh tanda tanya. "Ngapain lo ke sini?" ketus Amar.

"Lo ngapain di sini?" perempuan itu balik bertanya dengan nada yang tidak kalah jutek dari Amar.

"Ngapain di sini? Penting mang buat lo?"

Si SheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang