Amar dan Risa sangat menyesal dengan apa yang terjadi pada Zain. Demi menyelamatkan hidup mereka, kini lelaki itu tengah berjuang untuk hidup. Sudah satu jam sejak Zain dibawa ke rumah sakit akibat tabrak lari dari sopir yang tidak bertanggung jawab, dokter yang menangani Zain belum keluar dari ruang operasi untuk memberitahu keadaannya.
Risa tak berhenti menangis sejak Zain ditemukan sudah tak sadarkan diri di tengah jalan. Dia sangat terpuruk, badannya seakan tak mempunyai tulang untuk menyangga tubuhnya yang terasa lemas.
Tak berbeda jauh dengan Risa, di bangku sebelahnya, Nayla yang dipeluk oleh Dewa, tak berhenti menangis
Sementara itu Amar berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi, dia mengacak rambutnya frustasi, dan dia sangat ketakutan jika kehilangan orang yang dicintainya lagi. Amar rela menukarkan hidupnya dengan Zain serta dia berjanji jika Zain selamat, dia akan memenuhi permintaan Zain termasuk menghapus semua perasaannya pada Risa, dan dia akan pergi menjauh dari kehidupan mereka.
"Arghhh...!" Amar memukul tembok sebagai luapan emosi, yang membuat darah segar keluar dari buku tangannya. Sontak semua orang menoleh padanya, Nayla sampai terpekik kaget melihat itu.
Ketika Risa bangkit akan maju untuk menenangkan Amar, sebuah tangan mencegahnya.
"Biar Om saja." Dewa berjalan mendekat ke arah Amar. Bukannya tenang, pemuda itu semakin brutal memukul tembok, dan itu membuat kegaduhan yang membuat petugas rumah sakit dengan terpaksa mengusirnya dari ruang operasi.
Napas Amar turun naik ketika dia dibawa oleh Dewa ke rooftop rumah sakit. "Lepas!" perintah Amar yang tangannya masih dicekal oleh Dewa.
Dewa melepaskan tangannya setelah Amar sudah tenang.
"Kenapa bukan aku yang ada di posisi Zain? Kenapa?!" dengan mata menyalang marah, Amar mencengkram kerah kemeja Dewa. "Arghhh...!" Amar melepaskan cengkramannya dengan kasar.
Dewa masih bergeming, tak berbicara sepatah kata pun sejak Amar berulah di depan ruang operasi, dia membiarkan Amar meluapkan semua emosinya.
"Arghhh...!" Amar menendang tembok pembatas sampai dia jatuh terduduk di lantai. "Kenapa bukan aku?" luruh sudah air mata yang sejak tadi ditahannya. Kini Amar berubah menjadi sosok yang sangat rapuh.
Dewa berjalan mendekat dan berjongkok di hadapan Amar, dia merengkuh pemuda itu kedalam pelukannya. Sejak bertemu dengan Amar kecil beberapa tahun lalu, Dewa sudah sangat menyayangi Amar seperti anak kandungnya sendiri.
"Kenapa bukan aku saja?" lirih Amar mencengkram belakang kemeja Dewa.
"Jika kamu yang berada di posisi Zain, kamu pasti akan semakin membencinya karna apa yang telah diperbuatnya pada kalian."
Amar mendongak. Apakah lelaki di hadapannya ini tahu apa yang sudah terjadi dengan mereka, dan seperti mengetahui raut wajah Amar yang menampakkan keinginan penjelasan, Dewa kembali berkata, "Maaf, aku dan ibumu tak sengaja mendengar pembicaraan kalian." Dewa membantu Amar untuk berdiri.
Kini hening, keduanya memandang kosong pemandangan di bawah sana dari gedung lantai 10 rumah sakit ini; perumahan yang padat, lampu-lampu kota yang menerangi malam, kendaran lalu lalang yang mambuat jalanan macet, para pedagang kaki lima, serta orang-orang yang berlalu lalang. "Zain melakukan itu untuk membuat kalian memaafkannya."
Amar menoleh kaget pada Dewa. "Maksud Om?"
"Sekarang tanya hati kamu, apakah kamu akan memaafkan Zain jika peristiwa ini tidak terjadi padanya?"
Amar terdiam. Dia mencerna kata-kata Dewa. Tubuhnya bergetar menyesali semuanya setelah dia menyadari jika kata-kata yang diucapkan Dewa benar. Mungkin jika Zain tidak mengorbankan dirinya untuk menolongnya dan juga Risa, Amar tidak akan memaafkan kakaknya sendiri. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" lirihnya sambil menatap kosong pada langit gelap penuh bintang.
"Berdamailah dengan hatimu."
Amar menutup matanya. Mungkin ini saatnya dia memaafkan semua orang yang telah menyakitinya termasuk Dewa dan Nayla yang dia anggap telah mengkhianati almarhum ayahnya.
Ketika Amar akan membuka mulutnya untuk meminta maaf, Dewa sudah menyelanya, "Maafkan aku." Dewa memegang bahu Amar. Dia menatap Amar, memohon untuk dimaafkan. "Maaf karna Om telah menikahi ibumu, tapi satu hal yang harus kamu tahu, Om melakukan itu bukan semata-mata karena mencintai ibumu, tapi karena Om mencintaimu sebagai anak dan tidak mau kehilanganmu."
Amar terhenyak. Tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Sungguh dia merasa begitu bodoh setelah mengetahui alasan dibalik pernikahan Dewa dengan ibunya. Dia membenci Dewa yang sangat mencintainya tanpa tahu bahwa lelaki itu melakukan pernikahan dengan ibunya karena tidak ingin kehilangannya.
"Maafin aku... Pah." Amar menubruk tubuh Dewa. Itu adalah sesuatu yang tidak pernah Dewa sangka sebelumnya, Amar memeluk dan memita maaf padanya serta memanggilnya papa. Hal yang Dewa rindukan dan dia inginkan sejak dahulu; Amar kembali menjadi Amar yang dulu, yang bersahabat dengannya dan menyayangi dirinya seperti sebelum dia menikah dengan Nayla. "Maafin aku, Pah."
Dewa hanya bisa memeluk Amar yang sedang menangis menumpahkan semua sedih dipelukannya, dan tanpa disadarinya Dewa menitikan air mata bahagia.
~ Si She ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Si She
FanfictionSi She, dia perempuan. Si She adalah tambatan hati, cahaya jiwa, penyemangat, dan tumpuan hidup bagi lelaki tampan bernama Ananda Amar Wardana. Lelaki bermata lentik ini sudah menaruh rasa cinta selama satu tahun lebih untuk seorang perempuan yang d...