Chapter 11

1.8K 224 41
                                    


Sudah seminggu Zain di rawat di ruang ICU, dan baru sadar di hari kedelapan. Setelah kesehatannya berangsur baik, kini dia sudah bisa berbicara. Semua keluarga termasuk Amar sangat senang mendapati kesehatan Zain kini sudah membaik.

"Kenapa berdiri di sana?" Zain bertanya pada Risa, yang selama lelaki itu sudah sadarkan diri, dia tak pernah menemuinya. Hanya melihat Zain di luar kamar saat lelaki itu tengah tertidur. Bukan karena sudah tak cinta, tapi gadis itu takut jika Zain tak ingin menemuinya dan memaksanya untuk menjauh lagi darinya. Dia tidak sanggup jika itu terjadi.

Risa masih mematung di tempatnya. Dia menundukkan kepala, tak berani menatap Zain.

"Mau aku gendong biar kamu duduk dekat aku?"

Risa terhenyak. Dia kaget dengan perkataan Zain. Dia dongakkan kepala dan melihat Zain yang sedang tersenyum sambil merentangkan tangan yang masih diinfus.

"Aku hitung sampai lima. Jika kamu masih diam di sana, aku akan nekat turun dari ranjang dan peluk kamu."

Air mata Risa keluar. Dia bahagia sekaligus sedih. Haruskah dia menyambut uluran tangan Zain untuk dia peluk atau berjalan keluar meninggalkannya sebelum lelaki itu menyakitinya lagi dengan menjauh darinya setelah dia merasa bahagia bisa dekat dengannya lagi.

"Tiga...." Zain sudah berhitung di angka tiga, tapi Risa masih diam. "Li..."

Belum selesai Zain berhitung, Risa berlari ke arahnya dan menubruk tubuh Zain.

"Tanganku sakit nunggu kamu." Zain memeluk erat Risa yang sedang menangis dalam dekapannya.

"Maaf," ucap Risa.

"Aku yang seharusnya minta maaf." Zain melepaskan pelukannya. Dia menatap Risa yang masih menangis. "Maafin aku udah nyakitin kamu selama ini.

"Maaf." Mata Zain berkaca-kaca, dia menggenggam tangan Risa. Dia sangat menyesal telah menyakiti dan mengorbankan cinta mereka demi kebahagiaan adiknya. Dia jadi teringat percakapan dirinya dengan Amar semalam.

"Kak...," kata Amar yang tengah berdiri melihat keluar jendela rumah sakit menatap lampu kota yang menyala.

"Apa?"

"Cinta itu apa?"

Jantung Zain berdetak cepat saat Amar menanyakan itu padanya. Apakah Amar akan mengakui perasaannya pada Risa, kekasihnya. Jika itu benar, Zain harus merelakan kekasihnya untuk adiknya, tapi bukankah ini akan menyakiti mereka bertiga berada dalam lingkaran cinta segitiga yang rumit.

"Kak?"

"I... iya," Zain tergeragap.

"Cinta itu apa?" kini Amar menghadapkan tubuhnya tepat ke ranjang Zain.

"Cinta itu pengorbanan."

"Hhhmmm...." Amar menyungingkan senyum sinisnya. "Apakah pengorbanan bisa membuat cinta bahagia?"

Zain mengangguk.

"Pemikiran yang picik." Amar menggelengkan kepala. "Pantas saja lo ngorbanin nyawa lo demi gue sama Risa. Kenapa?"

"Karna kalian adalah orang yang gue cintai," jujur Zain. Demi mereka berdua, Zain mengorbankan perasaannya.

"Apa dengan ngorbanin semuanya lo bahagia?"

Zain terdiam. Dia tahu hatinya sangat sakit melihat Risa dekat dengan Amar, dan rasa itu lebih sakit dari pada luka tabrak yang kini dideritanya.

"Diam lo, gue anggap tidak sebagai jawaban lo."

"Gue bahagia."

Amar berjalan mendekat pada Zain. Jika saja kakaknya itu sedang tidak terluka, sudah dia pastikan bahwa satu pukulan akan dia layangkan pada wajah kakaknya itu. "Gue tau lo bohong!" Amar mencengkram baju pasien Zain.

"Kalo lo bahagia, apa Risa bahagia?"

Zain seakan tersadar dengan perkataan Amar. Selama ini dia tidak tahu apakah Risa bahagia bersama Amar atau tidak.

"Bahagia dia itu elo bukan gue! Brengsek!" Amar melepaskan cengkramannya.

Zain tersentak dan tubuhnya terdorong ke belakang. Selama ini dia mengabaikan perasaan gadis itu.

"Jangan jadikan gue alasan buat lo ngejauhin dia. Karna gue nggak akan maafin lo kalo lakuin itu lagi. Dia cinta lo bukan gue."

"Jadi maksud lo... dia... gue... lo...." Zain masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Amar.

"Maafin gue, Kak." Amar memeluk Zain sambil menangis.

Zain yang terkejut, tubuhnya terdorong ke belakang, tapi dia membalas pelukan Amar. Dia sangat bahagia karena ini pertama kalinya mereka berpelukan lagi setelah ayah mereka meninggal. "Gue juga minta maaf, selama ini gue bukan Kakak yang baik buat lo."

Amar menggeleng dalam pelukan Zain. "Lo adalah Kakak terbaik buat gue, dan jangan pernah lagi ngorbanin perasaan lo demi gue."

"Kenapa?" Zain melepaskan pelukannya dan dia belum puas bertanya kenapa sejak tadi Amar terus berbicara seperti itu.

"Lihat wajah gue baik-baik."

Zain menatap dengan seksama wajah adiknya. "Gak ada kotoran di wajah lo."

Amar kesal, dia menoyor kepala Zain yang dibalut perban.

"Awww...!" Zain mengaduh kesakitan. "Durhaka lo jadi adik!"

"Abis lo bego!"

"Udah durhaka pake gak sopan lagi sama kakak sendiri."

"Gue cakep, jadi gak usah sok ngedeketin pacar lo ke gue, karna gue bisa nyari sendiri. Gue juga laku kali."

Zain mencibir Amar, "Kalo lo laku, lo nggak akan jomblo dari orok."

"Jomblo itu pilihan bukannya gak laku."

"Hahaha...," dan keduanya tertawa dikeheningan ruangan Zain.

Malam ini menjadi saksi jika kedua adik-kakak itu telah berbaikan dan mereka akan berjanji memperbaiki hubungan mereka yang sempat renggang dan menjauh.

Zain tersenyum senang karena kekasihnya tidak marah dengan apa yang sudah diperbuatnya selama ini.

"Jangan lakuin itu lagi ke aku. Kamu bisa marah sama aku, tapi jangan ngejauhuin aku tanpa alasan dan tanpa tau kesalahan aku apa."

"Maafin aku, aku salah. Aku cinta kamu."

"Aku juga cinta kamu."

Di luar kamar inap Zain, berdiri Amar di balik pintu, mendengarkan percakapan mereka dari awal sampai akhir. Dia tersenyum walau hatinya terasa sakit, tapi dia bahagia jika kedua orang yang dia cintai, bisa bahagia, karena cinta baginya bukan memaksakan sesuatu untuk menjadi miliknya, cinta adalah perasaan tanpa paksaan.

"Hai...," sapa seorang gadis cantik yang selama ini dia cari. Si She.

Amar langsung menyeka matanya yang berkaca-kaca. "Hai...."

"Kamu adiknya Zain?"

Amar mengangguk.

"Silena." Gadis itu mengulurkan tangan.

"Aku tau." Amar tersenyum menyambut uluran tangan Silena. "Aku Amar."

"Boleh aku jenguk Zain?"

"Sepertinya tidak untuk saat ini karna ada Risa di dalam."

"Oh...."

"Gimana kalo kita ke kafetaria dulu?" ajak Amar.

Silena tampak berpikir.

"Gak ada penolakan," paksa Amar yang langsung menarik tangan Silena menuju kafetaria. Semoga ini menjadi awal kisah cintanya bersama Silena, Si perempuan yang selama ini dicarinya.

~ Si She ~

Si SheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang