Chapter 3

2.1K 205 83
                                    

Hari, minggu, dan bulan sudah berganti, bahkan kini Amar sudah kuliah semester tiga, tapi dia tidak menemukan gadis yang dia panggil Si She itu di kampusnya. Dia bingung harus mencarinya kemana. Jangankan tahu alamat rumahnya, namanya saja Amar tidak pernah tahu.

Sejak pertemuannya yang terkahir dengan gadis itu, Amar tak pernah melihatnya lagi di kampus. Ingin bertanya pada sang kakak, dia tidak berani, takut ditertawakan dan jadi bahan bully-an kakaknya. Ditengah lamunannya tentang gadis itu, dia tidak menyadari jika ada mobil dari arah berlawanan melaju sangat kencang. Amar segera mengerem motornya sebelum terjadi kecelakaan yang bisa menewaskan dirinya dan juga penumpang dalam mobil itu.

Ciiittt...!!! Suara ban dan aspal beradu. Mobil itu berhenti mendadak tepat di depan motor sport Amar dan menubruknya, sontak Amar terjatuh dari motor.

"Brengsek!" maki Amar emosi. Dengan kaki yang terasa sakit akibat tertimpa badan motor yang berat dan besar, dia bangkit sambil menggeser sedikit motornya sehingga bisa memberikannya celah untuk keluar dari himpitan motor. Setelah membuka helmnya, dia langsung berjalan dengan langkah tertatih ke arah mobil yang sudah menabraknya tanpa memedulikan motornya yang masih tergeletak di aspal. Dengan kasar Amar mengetuk kaca jendela mobil itu. "Buka!"

Kaca mobil itu masih tertutup membuat kesabaran Amar habis dan semakin kasar mengetuk kaca jendela mobil Jazz berwarna merah itu.

Perlahan kaca mobil itu terbuka. "Ma... af, maaf," dengan suara terbata orang yang menabrak motor Amar itu meminta maaf.

Amar terperanjat ketika mengetahui orang yang sudah menabraknya itu adalah Si She, gadis yang selalu dirindukannya. Dengan perasaan menyesal dan malu karena telah kasar pada Si She, Amar menjawab, "It's okey."

Untuk beberapa detik mata mereka bersitatap. Amar menatap serat dengan kerinduan sedangkan sorot mata Si She penuh rasa takut dan bersalah. Di gelapnya malam, Amar masih bisa melihat dengan hanya penerangan lampu mobil saja kalau mata Si She sembab, wajahnya pucat, dan raut mukanya terlihat sedih, sepertinya gadis itu sudah menangis.

"Maaf, aku nggak sengaja," sesal Si She yang merasa sangat bersalah atas kejadian ini.

Amar hanya mengangguk padahal dia ingin berkata kalau itu tidak jadi masalah baginya.

"Kamu nggak apa-apa?" Si She keluar dari mobil dan meneliti tubuh Amar untuk memastikan ada luka atau tidak.

Ditatap seperti itu membuat Amar salah tingkah, dia mengusap tengkuknya.

"Beneran kamu nggak apa-apa?" sekali lagi Si She memastikan, dan lagi-lagi Amar mengangguk. Kemudian pandangan Si She beralih pada motor Amar yang masih tergeletak di jalan. "Tapi motor kamu...." Si She menunjuk motor Amar yang bagian depannya rusak.

Amar melihat motornya yang rusak dan menghela napas sebelum pandangannya dia alihkan pada Si She lagi. "Gak masalah," jawab Amar singkat menutupi kegugupannya. Jika yang menabrak motornya bukan Si She, sudah dipastikan Amar akan meminta ganti rugi dan melabrak orang itu.

"Serius?"

Untuk yang kesekian kalinya Amar hanya bisa mengangguk.

Si She meraih tangan kanan Amar, yang membuat lelaki itu mematung dan jantungnya berdetak cepat karena sentuhan itu. "Sekali lagi aku minta maaf udah bikin kamu jatuh dan rusakin motor kamu."

Amar merasakan sekujur tubuhnya menegang saat Si She mencium pipinya. "Maaf." Setelah mengatakan itu, Si She masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan Amar yang masih terdiam di tempatnya di malam menjelang subuh di jalanan Lembang yang masih sepi menuju rumahnya setelah dia pulang kemping.

Si SheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang