Chapter 06
Ketika aku terbangun aku sudah berada didalam kamarku di rumah Chitose dan Ruri. Tubuhku terasa lemas dan sakit dari ujung kaki sampai ke kepala. Aku memegang kepalaku dan medapati perban yang menutupi luka akibat pukulan oleh gagang pistol. Aku merasakan sesorang memegang tanganku. Disampingku kulihat Ruri duduk di lantai dengan kepala berada diatas kasur dengan boneka yang kubelikan untuknya menjadi bantal kepalanya. Ia tertidur, walau demikian tangannya masih memegang tanganku. Perlahan aku menarik tanganku agar ia tidak terbangun. Aku berlaku seperti itu bukan karena tidak ingin membangunkan Ruri melainkan karena kalau ia terbangun aku tidak tahu apa yang akan kukatakan ataupun bagaimana aku harus bertindak. walau sudah sedikit tenang tapi aku masih marah dan kesal mengenai apa yang baru saja kualami. Jika kami bicara sekarang aku takut aku akan mengatakan atau melakukan hal yang akan kusesali selamanya. Ketika sudah bebas dari pegangan Ruri aku duduk di tepi ranjangku kemudian melihat jam yang berada di meja kecil disamping kepala ranjangku. Waktu sudah menunjukan pukul satu malam. Perlahan-lahan aku berjalan menuju pintu, membukanya perlahan-lahan kemudian keluar dari dalam kamar. Aku berjalan menuju pintu keluar rumah. Baru saja aku memakai sendal dan hendak membuka pintu Chitose berkata dibelakangku.
“apa kamu mau pergi?”
“aku perlu waktu untuk berpikir.” Kataku tanpa membalikan badan.
“Ada satu hal yang perlu kamu tahu.” Kata Chitose ketika aku memutar gagang pintu dan akan melangkah keluar. “Ruri tidak tahu apa-apa mengenai ujian tadi. Ia hanya tahu kalau aku menyuruhnya pergi bersamamu dengan alasan agar kalian berdua menjadi semakin dekat. Jadi apa yang kalian berdua alami semuanya nyata.”
Setelah mendengar perkataan Chitose, Aku pergi keluar dan menutup pintu dibelakangnya tanpa berkata apa-apa. Aku berjalan menelusuri gelapnya malam tanpa tujuan. Kepalaku terasa sakit, entah karena pukulan yang kuterima, aliran listrik yang dipaksakan pada tubuhku, atau karena semua hal yang terjadi pikiranku tidak dapat memproses semuanya. Aku tidak ingat berapa lama aku berjalan, yang kutahu ketika aku berhenti, kakiku telah membawaku ke depan apartermenku. Tempat tinggalku sebelum aku terlibat dengan Ruri maupun Chitose.
Aku mengambil kunci dari kantungku dan kemudian membuka pintu. Didalam aku langsung menuju pintu terdekat, yang merupakan pintu menuju kamar mandi, dan masuk kedalamnya. Aku berdiri didepan wastafel kemudian mencuci mukaku. Aku melihat di kaca bekas luka di kepalaku. aku memegang perban yang menutupinya, masih terasa sedikit perih ketika disentuh. Aku membuka perban itu kemudian membuangnya ke tempat sampah dibawah wastafel. Aku keluar dari kamar mandi dan menuju ke tempat tidurku. Karena apartermenku tipenya seperti studio maka hanya terdapat satu ruangan selain kamar mandi. Tempat tidur maupun ruang tamu berada dalam satu ruangan. Aku tiduran diatas kasur, setelah membuka pintu menuju balkon untuk membiarkan angin malam masuk. Aku hanya ingin tiduran disini dan melupakan semuanya. Bahkan aku tidak ingin untuk masuk sekolah yang dimulai berberapa jam lagi. Sebab aku tahu aku akan bertemu Ruri di sekolah. Bila aku bertemu dengannya aku tidak tahu harus berkata apa-apa. Bagaimana aku harus bertindak. banyak hal berada dikepalaku saat ini dan aku tidak bisa melupakannya. Aku terus berpikir sampai akhirnya aku tertidur.
Aku terbangun waktu mendengar handphoneku berbunyi terus. Ketika aku mengerakanku seluruh badanku terasa sakit semua, tampaknya efek dari semua siksaan yang kualami kemarin mulai terasa saat ini. Aku meraih ke kepala ranjang, tanganku bergerak kesana kemari mencoba mencari handphoneku, karena tidak ingin bangun dari tempat tidurku. Begitu aku menemukan handphone itu, bunyinya sudah berhenti. Aku melihat di layar terdapat miss call sebanyak dua belas kali dan semuanya berasal dari satu nomor, nee-san. Selain itu terdapat juga sms dari Rena nee-san.
“kenapa kamu tidak masuk sekolah? Kakak menerima telepon dari sekolahmu. Kamu berada dimana? Hubungi kakak secepatnya.”
Begitu isi sms dari kakak. Aku seharusnya menelepon kakak agar tidak membuatnya khawatir tetapi aku tidak dapat melakukannya. aku tahu sifat kakak, Ia pasti akan muncul seketika dari pintu depan dengan wajah cemas. Selain itu aku tidak bisa memberitahukan apa yang terjadi sebenarnya, aku juga tidak mau membohongi kakak. Mungkin lebih tepatnya aku tidak bisa membohongi kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shinigami no Kokoro
RomantizmCerita tentang seorang anak muda yang jatuh cinta dengan seorang pembunuh. akankah ia tetap mengejar cintanya ataukah ia menyerah di tengah jalan?