ENEMY -- 29

5.9K 358 27
                                    

Meski sulit, Kayla tahu bahwa dirinya harus bersikap professional. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa bayangan Evan memang tidak bisa terlepas dari benak gadis itu, membuat hati dan pikirannya gelisah tak menentu. Namun, apa yang bisa ia lakukan lagi sekarang? Tidak ada. Bahkan, beberapa alat penunjang kegiatan pameran seni esok hari sedang ia siapkan sendirian.

Seharusnya, malam ini cowok itu datang kerumahnya untuk menyiapkan acara besok bersama-sama. Ya, seharusnya. Tapi Kayla memang tak bisa berbuat apa-apa, hingga detik ini. Walau dirinya telah memiliki rencana yang begitu banyak mengambil resiko, namun dirinya tetap merasa percaya diri-meski rasa takut yang tengah menguasai dirinya saat ini.

Kertas berisi pidato sambutan sebagai ketua osis dalam acara pameran telah disiapkan dengan rapih, membuat gadis itu tersenyum senang karena tugas terakhirnya sudah selesai. Membereskan peralatan tulisnya, gadis itu beranjak dari kursi belajarnya menuju ke tempat tidur. Tatapan Kayla tepat pada langit-langit kamarnya, lalu secara tak sengaja wajah Evan muncul disana.

Kayla tersenyum muram. Ia rindu pemuda itu, seseorang yang telah membuatnya bahagia dan sedih secara bersamaan. Kayla benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya esok hari, atau minimal bagaimana keadaan Evan esok hari, lalu bagaimana ia harus bertindak.
Gadis itu tak bisa melakukan apa-apa selain berharap, agar besok bisa berjalan dengan baik.

---

Semua orang tampak sibuk.

Bagi panitia yang belum menyelesaikan tugasnya, mereka masih mengenakan kaos putih dan celana panjang-dan tentu saja sudah sangat dekil. Sebagian sudah berada di ruang ganti, mulai mengenakan pakaiannya masing-masing sesuai dengan tema; The Power of White. Kayla tentu saja tak mau repot-repot mengganti bajunya, karena ia sudah mengenakan gaun putih yang simple dan selaras dengan tubuh rampingnya.

Meski begitu, Kayla juga tidak berdiam diri dan duduk manis menonton teman-temannya yang tengah berjuang keras demi suksesnya acara hari ini. Dikunjungi olehnya satu persatu bagian yang tengah dikerjakan, dan dirinya menyunggingkan senyum pada Alan, yang tengah mengatur meja untuk para tamu.

"Masih banyak perlu bantuan, Lan?" tanyanya.

Alan mendongak, lalu tersenyum kagum. "Wah, nggak perlu, Kay. Habis ini gue juga udah selesai kok."

"Baik. Setelah itu jangan lupa ganti pakaian ya!"

Alan tertawa, "Siap, bu osis!"

Setelah tersenyum ramah, Kayla kembali mengelilingi ruangan tersebut dan berhenti pada seorang gadis yang berjalan terseok-seok dengan menenteng sepatu heels-nya dan masih menggunakan kaos putih-yang meski tidak terlalu nampak, rada kumel.

Oh, itu anggotanya.

"Lo kenapa, Bel?"

Gadis yang bernama Bella itu mendongak, lalu wajahnya berubah muram saat melihat Kayla di hadapannya dengan tampang kebingungan.

"Kaki gue, Kay, lecet," rengeknya.

Pandangan Kayla sontak menuju kebawah, melihat kulit pergelangan Bella yang sudah luka kemerahan. "Kok bisa gini?"

"Gue sengaja dateng pake heels biar gue terbiasa, tapi malah lecet."

Tindakan yang benar-benar tolol. Jika memang ingin terbiasa dengan heels, maka pergilah memakai sepatu tinggi itu ke acara yang tepat, dan waktu yang tepat, secara rutin. Bukan dengan memakainya saat kau harus memanjat dinding untuk memasang balon dan berlari kesana-sini memindahkan barang agar lebih cepat.

"Kalo lo mau terbiasa pake heels, nggak gini juga kali caranya." ucap Kayla jengkel. "Sini, gue bantu ke ruang medis deh,"

Bella tersenyum berlebihan-karena itu memang sifatnya-saat Kayla membantunya berjalan. Kayla membawa Bella menuju ruang medis, yang mengakibatkan para siswa dari ekskul PMR itu tertawa karena sebelum acara dimulai sudah ada panitia yang mengunjungi mereka.

My (Lovely) EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang