"KABUR," jawabnya dengan begitu singkat dan jelas.
Dugaanku benar. Keringat dingin mengelilingi seluruh tubuhku saat mendengar perkataan itu. Aku menggeleng samar sambil menahan napas.
"Eh, kok ngomongnya gitu? Kita gak boleh nyer-" kalimatku dipotong lagi olehnya. "Udah capek kak." Ia mengatakannya sambil menatapku lemah.
Lampu kamar membuat jelas warna gelap yang membingkai di bawah kedua matanya. Semangatnya surut layaknya tertutup kain hitam nan kelam.
"Kakak tau, tapi kita harus kuat dong. Kita harus bisa buat mama sama papa gak berantem lagi," jawabku sembari memberikan senyuman simpul yang tergambar dengan sangat terpaksa.
Tatapannya jatuh ke lantai cepat.
"Kalau gitu, kakak aja yang urusin mereka, aku udah gamau lagi," ia menghela napas. "Emang kakak gak capek apa setiap hari kaya gini terus?"
Aku terdiam seribu bahasa dan hanya mampu menatap matanya dalam - dalam. Berpelukan mungkin satu - satunya cara terbaik saat ini.
Aku mendaratkan tubuhku di samping kirinya. Air matanya mengalir ke pundakku sesaat setelah kedua tanganku melingkar pada badannya yang lemas, tak berdaya.
"Kita harus kuat dong," kataku, memecah kesenduan yang ada. Suaraku sangat parau, namun bukan suara jenis itu yang ingin aku keluarkan.
Setelah beberapa menit kami berpelukan, seseorang mengetuk pintu kamarku dengan lemah, namun suaranya tetap menggema di setiap sudutnya karena keheningan yang menyergap kami berdua.
Itu bibi, Marsih namanya.
Aku langsung melepas pelukanku dan menghapus air mataku dan air mata Steven. Aku tak mau ia melihat kami berdua menangis, bisa membuat keadaan menjadi semakin tidak terkendali.
"Masuk aja Bi, gak dikunci kok," Napasku masih tersengal - sengal, namun aku masih bisa menutupinya.
Pintu itu terbuka sedikit demi sedikit. Setelah terbuka seperempat, kepala Bi Marsih muncul dari celah yang sempit itu dan menyusul badannya. Hingga seluruh tubuhnya masuk.
"Emm... Maaf kalo Bibi ganggu. Cuma mau ngasih tau, papanya non pergi," suaranya bergetar seperti orang yang baru saja melihat hantu, "terus si Ibu sekarang lagi ngejar."
Aku memejamkan mata. Berharap semua ini berakhir setelah aku membuka mata. Namun yang ada malah perasaan hampa dicampur rasa bingung yang tak kunjung berhenti. Berapa lama aku di dalam kamar, hingga masalah ini menjadi lebih rumit dari yang kuduga?
Setelah itu aku memberanikan diri untuk membuka mataku, dan angan - angan bodoh itu pergi meninggalkanku begitu saja. Aku hanya terpaku melihat bibi sambil tetap memikirkan ucapannya tadi.
"Oh, ya udah." Apa - apaan mulutku ini? Kalimat itu melonjak keluar tanpa sadar, begitu pula dengan senyum aneh. Aku yakin senyumku ini adalah tanda - tanda kegilaanku yang semakin menjadi.
Muka Bi Marsih menjadi heran. Namun masih tak meninggalkan mimik ketakutan.
Setelah itu aku bergegas ke bawah untuk melihat seberapa berantakannya rumah ini sekarang, namum kakiku tiba - tiba berhenti tepat di depan anak tangga terakhir. Menatap tembok putih pasi dengan perlahan. Disitu tergantung beberapa foto yang terbingkai manis sambil menampilkan senyum sumringah dari sebuah keluarga bahagia.
Mataku mendarat pada salah satu foto. Sejenak hatiku seperti bisa merasakan lagi kehangatan kasih yang terabadikan di momen itu.
Saat itu kami sedang berlibur di Bali. Aku si anak perempuan yang mengenakan baju renang pink sibuk membangun istana pasir, tanpa peduli sedang di foto. Sedangkan papa, mama, bahkan Steven memasang ekspresi siap difoto.
Sejak kecil aku adalah orang yang tidak peduli tentang pentingnya mengabadikan momen. Menurutku momen kebersamaan bisa lebih terasa apabila kita fokus untuk menikmatinya.
Dan ternyata aku salah.
Hanya satu dari lima foto tersebut yang mampu memotret gigiku. Meskipun sebenarnya saat itu aku sedang tertawa.[]
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home (Completed)
Teen FictionKisah tentang seorang gadis remaja yang harus menghadapi siksaan hidup yang memberinya pengalaman luar biasa. Walau harus melalui seribu satu tantangan. Amarah, dengki, cemas, takut, sedih, sakit, tak lagi membuat gadis ini berhenti membuka lebar sa...