Bab 10

6.1K 312 11
                                    

DISINI lagi aku berdiri. Di ruang keluarga, tempat kami sekeluarga dulu sering menyaksikan acara televisi bersama. Dan sekarang apa? Aku hanya bisa menyaksikan adegan yang sangat ku benci sepanjang hidupku; yakni, pertengkaran kedua orang tuaku itu. Lagi. Dan lagi.

Tanganku masih memegang sebatang bunga mawar yang masih segar. Kutatap kelopak itu lekat - lekat, berharap pandangan itu membuatku lupa akan apa yang terjadi sekarang. Tapi nihil.

Tanganku semakin bergetar. Sangat kencang. Hingga tubuhku ikut berguncang. Mata yang semula dapat memandang dengan jernih, sekarang tak lagi. Air mata menutupi pupilku layaknya selaput katarak.

Dengan nekat yang kuat, aku menjulurkan tangan itu pada mama. Ya. Itu mama. Wanita yang ada di sisiku selama di rumah sakit ini.

"Ma, selamat hari ibu." Ucapku memecah pertengkaran mereka berdua. Harapanku hanya satu. Semoga dengan bunga ini, konsentrasi antara kedua belah pihak terurai.

Ternyata hanya sementara.
Tangan mama yang semula hendak meraih bunga ini dan tidak menghiraukan papa, direnggut olehnya. Membuat bunga ini terjatuh ke lantai.

Sampai saat ini aku berusaha menulikan diri, namun usaha itu tidak mempan sampai papa berhasil meraih bunga itu dari lantai sambil membentak - bentakku dan menyodorkannya ke mukaku.

"Gak usah ngasih bunga mawar ini ke dia," ia melanjutkan dengan menekan nadanya sangat dalam, "dia gak pantes!"

Aku hanya memejamkan mataku saat peristiwa ini terjadi. Tiba - tiba bunga itu dilempar olehnya dengan sangat kasar. Hingga duri yang berada di batangnya membuat segaris luka dengan darah segar.

"Aahh!" Teriakku.

Ku buka mataku perlahan. Berusaha mengembalikan kesadaranku yang melayang entah berada dimana.

Saat semuanya sudah jelas. Tampaklah anak perempuan tadi.

Tanpa tersadar, tanganku meraih tangannya yang sedang memegang sebatang bunga mawar tadi. Ku lihat matanya, mencerminkan ketakutan. Namun apa yang bisa kulakukan? Karena ini diluar kesadaranku.

Otakku memerintah pada tubuhku untuk mengulang kejadian seperti di ingatan tadi.
Kutatap kelopak bunga itu lekat - lekat. Dan mataku mulai dipenuhi selaput air mata. Sedetik kemudian tanganku mengayunkan tangan kanan anak perempuan tadi hingga duri yang berada di batang itu menggores pipiku. Dan keluarlah darah segar, hingga membuatku berguncang.

Sekarang otakku merespon untuk menampar pelakunya, yang tak lain adalah anak kecil tadi. Walau bukan dia yang melakukan, tapi itu diluar kesadaranku. Biar kuperjelas, itu diluar kesadaranku.

PLAKK!!

Suara itu memantul ke seluruh penjuru taman ini. Hingga anak - anak penderita kanker, serta pengunjung yang lain menyodorkan pandangannya untuk menyaksikan perbuatanku yang sangat memprihatinkan ini.

Aku menjerit panjang dan melengking sejadi - jadinya. Bukan rasa malu yang menyelimutiku, namun rasa dengki dan dendam yang selama ini ku pendam meledak begitu saja hingga rasa lega mengguyurku.

Mungkin saat inilah aku berada di ambang kewarasanku. Tidak. Saat inilah kewarasanku hilang.

Ku coba untuk menenangkan jiwaku, dengan cara memejamkan mata. Berharap hal ini cepat selesai. Dan itu berhasil.

Tiba - tiba seseorang mengangkat tubuhku dan mendudukkanku ke kursi roda tersebut hingga membuat mataku terbuka lagi. Oh. Itu Steven. Matanya melihat wajahku dengan sangat terkejut. Ia memindahkan pandangannya ke anak perempuan yang ku lupakan keberadaannya sekarang.

Ia terduduk di peving ini sambil menatapku dengan horor. Matanya bersiap untuk meluncurkan air terjunnya, namun ditunda olehnya. Tiba - tiba wajahnya kembali relax, namun lain halnya dengan Steven. Ia terus - terusan membentak anak itu tanpa pandang bulu.

"Hentikan, Steven!" Bentakku dengan suara galak. Membuat laki - laki remaja ini menatapku dengan bingung.

"Dia yang buat kakak luka!" Jawabnya dengan heboh.

Aku menggelengkan kepala. Lalu menunduk.

"Bukan dia, tapi aku yang ngelakuin," aku melanjutkan dengan menatapnya menggunakan mata tegasku, "tadi tiba - tiba ada ingatan yang muncul di kepalaku. Dan sekarang aku tahu siapa wanita tadi." Hening, "mama."

Matanya terbelalak tak percaya. Alisnya berkerut kaget. Aku berharap mendapat respon yang baik. Ternyata tidak. Ia hanya larut dalam pikirannya, dan hal itu membuatku tak nyaman.

Tiba - tiba anak perempuan tadi bangkit dari posisinya dan berjalan, mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku memejamkan mata. Entah apa yang kupikirkan hingga takut dengan anak kecil.

Ia mendekatkan mulutnya ke telinga kiriku-tepatnya, di seberang tempat Steven berdiri. Lalu ia membisikkan kata demi kata hingga suaranya nyaris seperti desisan.

"Aku tau kok ingatan apa yang barusan keinget sama kakak."

Aku terkejut mendengar kalimatnya. Sebelum aku bertanya, ia sudah lebih dulu menjawab.

"Aku ini ada sangkut - pautnya sama kakak," Ia melanjutkan "apalagi sama keluarga kakak."

Dan sekali lagi. Anak ini membuatku bingung setengah mati.

Setelah mengatakan itu, ia membalikan tubuhnya dan berjalan mengikuti jalan setapak ini. Dan akhirnya tubuhnya hilang ditelan gedung bertingkat 5-khusus pasien penderita kanker-itu.

Aku yang menyaksikan ini hanya diam seribu bahasa. Tak tahu harus berkata apa atau harus berbuat apa. Karena memang tak ada yang perlu kulakukan lagi.

"Kak, kok bisa luka kaya gini? Kakak gak papa kan?" Tanya Steven dengan heboh, memecah lamunanku. Aku menggeleng pelan. Ku harap ia mengerti bahwa aku sudah tak ingin membahas hal ini lebih lanjut.

"Balik yuk, udah mau jam 6." Ajakku padanya untuk mengalihkan pembicaraan. Ia hanya mengiyakanku saja, lalu mendorong kursi roda ini ke dalam koridor gedung rumah sakit untuk pasien umum.

Saat roda ini berputar, kepala ku juga berputar - putar yang disebabkan oleh jutaan pertanyaan yang hendak meledak.

Aku masih terngiang akan dua kalimat yang terakhir,

"aku ini ada sangkut - pautnya sama kakak, apalagi sama keluarga kakak." []

***

Jangan lupa buat VOTE, dan COMMENT aja lgs kalo mau ksh saran!
Tks!

Broken Home (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang