TERDUDUK diam aku disini, di kursi roda sambil menatap hampa. Sepanjang koridor diisi dengan orang berlalu lalang. Mulai dari dokter, suster, orang dewasa, hingga anak kecil. Riuh tipis khas rumah sakit berbalut dengan suara langkah kaki beberapa karyawan menyempurnakan kali terakhirnya aku berada di depan pintu kamar ini.
Steven mengunci pintu itu dengan tegas dan segera mendorong kursi rodaku ke depan pintu lift. Suara khas tanda pintu lift terbuka menyeruak di sepanjang koridor.
Pintu tersebut segera tertutup sempurna setelah tubuh kami berdua berada di dalamnya.
Tidak ada siapa pun selain Steven.
Biasanya ada beberapa suster yang naik lift ini bersama dengan kami. Hanya sekedar untuk mengecek pasiennya atau memberi obat tambahan. Mungkin mereka telat, atau sedang berganti shift.
Sensasi terombang - ambing saat lift ini turun sudah menjadi bagian abadi dari alat ini. Walau aneh, tapi aku suka dengan hal itu. Rasanya, seperti terombang - ambing di suatu keadaan sulit yang saat itu kau dikekang sesuatu yang keras layaknya pintu besi ini.
Lift ini berhenti bergerak begitu lampu penanda keberadaan kami tiba di angka satu. Pintu besi ini terbuka dengan cepat, dan segeralah terpampang keadaan lantai satu yang tidak seramai biasanya.
"Tuh Mama," Steven mengarahkan jari telunjuknya ke arah meja resepsionis, yang disitu adalah Mama walau hanya terlihat punggungnya.
Roda kursi ini terhenti tepat di sebelah meja resepsionis. Aku hanya terdiam sambil menyaksikan Mama yang sedang bersibuk ria dengan para suster disini.
Sekitar setengah jam sudah aku terduduk diam disini. Masih dengan pemandangan yang sama. Tapi jika semakin lama Mama mengurus urusannya, semakin lama pula aku pulang, dan hal itu memberi ketenangan sedikit pada diriku.
"Kak, kita ke mobil duluan yuk," ucapnya dengan nada mengajak. Aku mengangguk pasrah, karena aku juga sudah mulai jenuh melihat keadaan ini yang tiada henti. Tapi, tetap saja aku masih mau disini untuk mengulur waktu lebih lama.
***
"Sudah sampai, non," Pak supir yang bernama Pak Arsyad mengatakan beberapa detik sebelum mobil ini masuk ke dalam garasi rumah bernuansa putih.
Putih. Batinku berkata, seketika itu pula dadaku seperti dihujam sesuatu.
Aku menatap jenuh sejumlah pilar yang terlapisi cat putih. Pilar tersebut menawarkan sejuta rasa rindu. Entah rindu apa yang kurasakan, aku tak tahu. Namun, kurasa aku mengingat tentang sesuatu.
Di teras aku terduduk sambil memainkan boneka beruangku. Kala itu mentari telah meredupkan cahaya kebanggaannya. Menandakan hari telah malam.
"Ayo masuk, udah malem," ucap Bi Gendhi, yang kala itu masih bekerja sebagai asisten keluarga kami sebelum akhirnya ia menjadi pekerja di pabrik rokok.
Aku menggelengkan kepala sangat kencang dengan penuh rasa kesal, sebab sudah ratusan kali kalimat itu melesat pada telingaku.
"Gak mau, aku mau nunggu mama!"
"Iya, tapi nunggunya di dalem aja, yuk," ia melanjutkan dengan suara lembutnya, "sambil nonton sinetron."
Bibirku masih pada posisi maju, menandakan aku yang dulu sangatlah keras kepala. Mau tak mau, ia harus ikut di luar bersamaku.
Kring! Kring! Kringgg!!
Suara telepon rumah berbunyi, seketika pula Bi Gendhi langsung berdiri dan menaruh gagang telepon itu ke telinganya.
"Iya, benar,"
"Maaf, ini dari mana ya?"
"Oh begitu, oke sus saya segera ke sana, terima kasih untuk infonya."
Begitu Bi Gendhi meletakan gagang telepon itu lagi, Pak Arsyad langsung memasukanku ke mobil bersama Bi Gendhi.
"Kita mau kemana?" Ucapku dengan kegirangan, walau sebenarnya aku tak tahu alasannya aku bergembira.
"Ke rumah sakit, Non," Pak Arsyad mengatakannya dengan terburu - buru sambil memasukkan gigi.
"Steven," ucapku lirih. Kembali aku masuk ke dalam ingatan itu lagi.
Kami memasuki rumah sakit dengan berlari. Aku yang tidak tahu apa - apa hanya bisa tertawa girang karena melihat langkah Bi Gendhi yang terbilang konyol.
Melompati ubin demi ubin sampai akhirnya kami berhenti di depan pintu cokelat khas rumah sakit.
Tanpa basa - basi, Bi Gendhi langsung mendorong pintu itu keras - keras dan segera terbukalah pintu itu.
Suara tangisan bayi menyeruak kencang tepat di gendang telingaku, hingga aku tersentak penuh kejut.
"Mama!" Teriakku sambil berlari ke arahnya dengan penuh rasa rindu dicampur heran karena ada seorang bayi mungil yang sedang menangis di palungannya.
Aku memanjat kasur rumah sakit ini, dan langsung mengamati bayi yang memiliki pipi merah itu dengan penuh kegirangan.
"Adek udah lahir! Asik, aku sekarang ada temennya!" Pekikku penuh kegirangan.
"Steven," ucapku lagi sambil menitikan sebutir air mata.
Tanpa sadar aku telah menatap teras, dimana peristiwa itu mulai terjadi. Dimana bayi mungil berwajah putih dengan rona merah muda di pipinya lahir.
Malaikat kecilku. Steven.[]
***
Hai! Jangan lupa VOMMENT ya! Terumata silent reader :))Tks, happy reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home (Completed)
Teen FictionKisah tentang seorang gadis remaja yang harus menghadapi siksaan hidup yang memberinya pengalaman luar biasa. Walau harus melalui seribu satu tantangan. Amarah, dengki, cemas, takut, sedih, sakit, tak lagi membuat gadis ini berhenti membuka lebar sa...