KURSI roda ini berhenti tepat di depan pintu kayu besar berwarna cokelat muda. 189. Nomor itu terpampang rapi di bagian atas badan pintu ini. Tiap kali ku baca nomor itu, ada sesuatu yang mengingatkanku pada seseorang. Semacam idolaku? Entahlah. Hal itu membuatku semakin penasaran hingga saat ini.
Tangan Steven terjulur ke gagang pintu ini. Lalu menekannya dan mendorong nya, hingga badan pintu ini terbuka sempurna.
Mataku memandang nuansa putih yang dipaparkan oleh ruangan yang lumayan besar ini. Mulai dari tembok, sprei, meja, hingga gorden. Terlalu monoton untuk dipandang-kata batinku.
Disudut kiri ruangan, terduduklah seorang wanita yang sudah kukenal sekarang karena cintanya. Mama. Ia mengenakan kaus berwarna broken white, ditambah jeans. Hal itu membuatku semakin mengenalnya.
Namun entah apa yang membuatku melupakannya sesaat. Banyak orang - orang yang mengatakan bahwa aku ini gagar otak karena ditabrak oleh mobil. Tapi, aku tak dapat mengingatnya.
Ia sedang melipat beberapa baju dengan sangat rapi lalu memasukkannya kedalam koper. Di bagian samping koper itu tertempel label bertuliskan namaku-Talia. Yang sepertinya, itu tulisan tangan mama.
"Eh?" Ucapnya kaget karena keberadaanku dan Steven. Namun ia hanya menatap kami sebentar, lalu mengembalikan pandangannya ke baju - baju yang berada di meja kayu itu lagi. Ia melanjutkan, "Udah selesai jalan - jalan sorenya?"
Sebelum aku menjawabnya, Steven mendekatkan kursi rodaku agar aku tidak perlu mengeluarkan suara yang besar untuk menjawabnya. Namun, sebenarnya aku juga tidak berniat untuk menjawab pertanyaan itu. Melainkan, berniat untuk mengatakan sesuatu yang pasti membuatnya tercengang.
Aku menarik nafas dalam - dalam lalu menghembuskannya. Berharap tidak gugup.
"Ma," Panggilku dengan ragu. Rasa gugup yang seharusnya tidak muncul malah menjalari seluruh tubuhku, mulai dari ujung rambut hingga ujung ibu jari kaki.
Mendengar panggilanku, dengan spontan mama menaruh pandangannya pada wajahku, sambil tak henti - hentinya mengalirkan rasa terkejutnya pada matanya.
Kami terdiam seribu bahasa. Hal itu membuat atmosfer di ruangan ini menjadi sangat canggung. Namun terkadang diam adalah cara terbaik untuk melampiaskan semua isi benak kita. Tanpa sepatah kata, hanya dengan tatapan mata, kita sudah mengerti maksud pikiran dari lawan bicara.
Semula, mata mama terbelalak. Namun sekarang, matanya kembali normal disertai dengan kerutan alis yang menggambarkan batinnya sekarang. Dan aku tahu, pasti ia sedang berusaha menyembunyikan tangis harunya.
Melihat hal itu, hati nuraniku juga ikut terbelai. Perasaan rindu menyelimutiku hingga melahirkan selaput air mata yang menutupi seluruh bagian mata ini. Aku tersenyum padanya. Ia juga membalasku dengan senyuman hangat. Sehangat cintanya yang tersulur pada jiwa dan ragaku ini semenjak diriku lahir ke dunia. Yang membuat diriku tumbuh dan berkembang dengan pupuk kasih sayang nan tulus yang diberikannya. Dalam malang maupun untung, ia tetap memberikan cintanya tanpa ragu.
Hatiku sudah tak tahan untuk segera melontarkan seluruh isi batin ini. Maka dengan perlahan, aku bangkit dari kursi rodaku dan mendekatinya. Melihatku bangkit berdiri, ia juga ikut bangit dari posisinya hingga kami saling berhadapan.
Tinggi kami sekarang sama, jadi aku dapat melihat dengan jelas semburat rasa gembira, haru, serta lega di matanya.
Saat sebutir air mata pertama miliknya terjatuh, milikku juga ikut terjatuh. Hingga membuat pipi ini dialiri oleh derasnya air mata. Air mata yang bukan sembarang air mata. Air mata yang terlahir dari kehangatan keluarga.
Tanganku terjulur, melingkari badannya dengan sangat perlahan. Ia juga mengikuti gerakanku. Badan kami akhirnya bersatu dalam pelukkan kasih sayang. Aku menaruh kepalaku di pundaknya. Dan tiba - tiba saja seutas kenangan indah muncul di mataku. Membuat mataku terpejam;
Aku ingat dikala matahari mulai memancarkan sinar kebanggaannya. Bagi kebanyakan orang, sinar itu sangatlah indah. Lain halnya dengan diriku semasih kecil dulu, jika hari telah pagi maka mimpi burukku sedang terjadi.
"Mama sama Papa berangkat kerja dulu ya." Ucap mama sambil berjongkok untuk mengecup keningku dengan kelembutan kasih sayang. Aku memejamkan mata saat ia mengecupku, sambil tak henti - hentinya memeluk erat mama.
"Papa sama mama tega ninggalin Talia sendirian!" Teriakan itu selalu kulontarkan padanya setiap pagi. Dan hal itu membuat atmosfer disini menjadi hangat. Kehangatan yang ingin ku rasakan selamanya. Walau tak bisa, namun aku akan tetap mengingatnya.
Kenangan itu disambung oleh kenangan lainnya;
Barisan para prajurit bintang mulai menampakan diri mereka. Membuat langit malam menjadi indah dan tenang. Namun, hatiku masih tidak tenang, karena mereka-orang tuaku masih berada di perjalanan menuju rumah.
Aku menunggu seorang diri di depan teras sambil menatap kekosongan garasi ini. Berharap garasi ini tidak kosong lagi, dan segera diisi oleh mobil mama dan papa.
"Non, di dalem aja nunggunya. Nanti kedinginan loh." Ucap Bi Marsih dari dalam rumah. Yang sepertinya dari dapur.
"Gak ah bi, aku nunggunya disini aja." Jawabku dengan menyembunyikan rasa dingin yang sekarang sedang menggerogoti tubuhku.
Tak lama kemudian, tampaklah mobil kebanggaan mama yang langsung terparkir mulus di garasi ini. Rasa dingin yang menyelimutiku tadi, hilang dengan seketika saat tubuh rampingnya keluar dari besi beroda itu.
Tanpa ba-bi-bu, aku bangkit dari persinggahanku dan langsung memeluk kaki mama. Ia langsung tertawa melihat diriku yang begitu rindu padanya.
"Kangen mama?" Tanyanya padaku dengan nada menaik di akhir kalimat. Itu adalah pertanyaan rutin yang selalu dilontarkan padaku. Karena hal ini sudah sering terjadi, maka dalam sejarah keluarga kami, kejadian ini harus dijalankan setiap harinya.
Bukan hanya untuk berbasa - basi, tapi juga untuk menghangatkan ikatan kekeluargaan kami.
"Aku kangen mama." Jawabku tanpa melepaskan pelukkannya. Hingga mama harus menggendongku agar ia bisa berjalan.
Begitu kenangan hangat itu selesai dimainkan, aku membuka mataku yang sembab ini. Dan hendak mengulang kejadian seperti dalam kenangan ini.
"Aku kangen mama." Ucapku lirih. Ucapanku ini malah membuat tangis haruku semakin menjadi - jadi. Hingga dadaku terasa sesak dan mataku menjadi lebih sembab. Namun dibalik rasa sesak itu ada kegembiraan yang telah bangit dari kesirnaannya.
"Mama juga, sayang." Balasnya dengan lirih namun tegas, tidak sepertiku.
Setelah beberapa menit kami mendiami tangis nan hangat ini, akhirnya kami saling melepaskan pelukan kami masing - masing.
Ia menatapku dengan mimik wajah keibuan yang ia miliki sambil tersenyum. Tangannya yang hangat memegang pipiku lalu mengusap bekas air mata itu.
Tiba - tiba terdengar suara isakkan tangis dari balik tubuhku. Aku langsung membalikkan badan dan menaruh pandangan pada orang yang menangis itu.
Steven. Cengeng.
Ia menutupi mukanya hingga hidung dengan kerah bajunya. Dengan tujuan agar aku dan mama tidak bisa melihatnya menangis. Tapi itu sia - sia. Karena matanya tertangkap basah sedang mengeluarkan cairan emosionalnya.
Aku dan mama hanya bisa terkekeh melihat kelakuannya. Menggelikan sekali melihat laki - laki menangis.
Tapi aku masih punya pertanyaan yang mengganjal hingga saat ini.
Sebenarnya, siapakah Steven?[]
***
Hai!! Maap ye kalo feelnya ga dapet, tapi kalo kalian suka, VOTE ya. Kalo mau kasih saran atau kritik lgs COMMENT aja
Tks!

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home (Completed)
Teen FictionKisah tentang seorang gadis remaja yang harus menghadapi siksaan hidup yang memberinya pengalaman luar biasa. Walau harus melalui seribu satu tantangan. Amarah, dengki, cemas, takut, sedih, sakit, tak lagi membuat gadis ini berhenti membuka lebar sa...