Bab 5

9.4K 496 3
                                        

KU kenakan kemeja resmi yang telah di gantung sejak tadi oleh bi Marsih. Kini nampaklah kembaranku di cermin lemariku. Wajah pucat, lesu, dan tak di sedap di pandang dengan badan yang sangat kelelahan.

Memang sejak 4 hari yang lalu aku sudah tak ada nafsu untuk makan,dan aku sudah dikenyangkan akan teriakan amarah dari kedua orang tuaku. Namun hanya aku dan bi Marsih yang mengetahui ini, aku takut jika Steven juga mengikuti tingkahku-yang kekanak-kanakan.

***

"Ruangannya di sebelah sana" kata seorang pengawas kepada kami-aku, bi Marsih dan Steven. Steven terlihat sangat... sangat bugar. Perkembangan yang luar biasa bukan? Kemarin ia hampir kabur dari rumah, dan sekarang keadaannya berbalik 180 derajat.

Ku langkahkan kaki ku menuju ruangan itu dengan berat kaki. Tanpa diproses dengan otakku, aku langsung berbelok ke kanan tepat di depan pintu ruang pengadilan yang terbuka lebar. Ku lihat raut wajah bi Marsih dan Steven yang terheran - heran. "Ke toilet" jawabku, yang kutambahkan dengan senyuman simpul. Genggaman tangan bi Marsih lepas saat mendengar perkataanku. "Ya sudah tapi cepat ya, sudah mau mulai soalnya" kata bi Marsih sambil menuntun Steven masuk ke ruangan tersebut.

Beruntungnya diriku, mengetahui toilet ini sepi. Ku basuh mukaku dengan air. Lalu membiarkan diriku tenggelam dalam lamunan yang berisi 1 pertanyaan.

Kabur? Atau tinggal?

Pertanyaan singkat namun menjelaskan semuanya.

Tinggal? Untuk apa aku tinggal di rumah brengsek itu? Untuk menghabiskan waktu tanpa adanya orang tua dengan sia - sia?

Kurasa jawaban yang tepat saat ini adalah kabur. Aku tahu kabur itu merupakan perbuatan yang sangat buruk tuk diperlakukan. Namun apa boleh buat jika keadaan yang mendesak, membuat orang melakukan hal itu?

Tanpa berpikir panjang lagi, ku hapus air mata yang sedari tadi mengalir terjun dari mataku. Ku cari jendela yang kira - kira muat untuk jalan keluarku dari sini. Dan yap, itu dia.

Ku buka jendela itu dengan susah payah karena kaca ini sangat berat untuk dibuka. Kau yakin Talia? Hatiku tertegun memikirkan hal itu. Namun pikiran itu sudah tak dapat menghambatku, karena sekarang tubuhku sudah berhasil keluar.

Sekarang aku sudah berada di kebun gedung pengadilan. Untungnya disini sepi, karena orang - orang sedang di dalam menyaksikan kedua orang tuaku yang-aku tak tau apa yang akan mereka lakukan.

Aku berlari pelan sambil menahan sepatu converseku agar tak berbunyi. Sesampainya di pos satpam parkir mobil, aku bersikap seakan tak ada yang terjadi sambil bersikap ramah dengan 3 security yang sedang berjaga.

Untungnya mereka tak mengenal diri hingga aku bisa melewatinya dengan mul.... "Mbak!" Panggil salah satu security itu. Mati kau Talia. Aku menyembunyikan rasa takutku sambil membalikan tubuh hingga menghadap pada security yang tadi memanggilku. "Ya?" Tanyaku dengan nada sepolos mungkin. "Jalan keluarnya bukan ke arah situ mbak, tapi jalan yang ini" jawab security itu dengan hati - hati.

Hatiku terasa lega mendengar perkataan itu, "Oh, hehehe. Makasih pak!" Jawabku dengan lantang. Aku pun mengambil jalan yang security itu tuju. []

***

Jangan lupa vote dan comment nya yaa!

Broken Home (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang