Steven : chapter 1

8.2K 395 0
                                    

Bab ini bab flashback, jadi jangan bingung yaa!
------------

"Dek, kakak kok lama ya?" Tanya Bi Marsih padaku dengan hati - hati. Aku menaik-turunkan bahuku seraya melirik ke handphoneku. Tidak ada pesan masuk. Aku khawatir jika sesuatu terjadi padanya. Ia adalah orang satu - satunya yang paling mengerti perasaanku saat ini.

Kulihat mama memasuki ruangan ini dengan membawa amplop coklat yang kuyakin isinya adalah berkas - berkas. Tapi, ia tidak bersama papa. Kemana papa? Apa ia tidak mau cerai? Ah entahlah. Yang ada di otakku sekarang hanyalah bagaimana cara menemukan kakak.

"Bi, cari kakak dong di toilet." Kataku pada Bi Marsih yang sedang menatap mama dari jauh dengan heran. Ia lalu tersadar dan mengiyakan permintaanku.

Tanpa diperintah, kakiku tiba - tiba berjalan ke arah mama berdiri sekarang. Ia sedang berdiri di depan meja hakim - hakim. Mungkin ia sedang mengurus sejumlah berkas. Niatku tidak ingin mengganggu, tapi apa daya kaki ini bergerak terus ke arahnya.

"Ma." Panggilku dari belakang pada wanita cantik ini. Ia menghentikan obrolannya dan membalikan tubuh untuk menatapku. Sedetik kemudian, tangannya yang ramping ini sudah memeluk tubuhku seutuhnya.

"Adek ga perlu sedih, biarin aja papa sama cewek lain." Katanya sambil melepas pelukannya dariku. Aku tak mengerti arah bicaranya. Jadi aku hanya menganggu lugu. Tujuanku mendatangi mama bukan untuk berbasa - basi tentang apa yang terjadi pada konflik ini, tapi ingin menanyakan padanya dimana kakak sekarang.

"Ma, kakak man..." kalimatku terputus oleh panggilan dari Bi Marsih. Ia mendatangi kami berdua dengan setengah lari dan nafas berat. Mengapa ia sampai sepanik ini? Kakak hilang? Pikiran itu melesat cepat di otakku. Tidak mungkin, mana bisa kakak hilang? Bantahku pada batin sendiri.

"Kakak.... hi.. hilang." Kata Bi Marsih pada kami berdua sambil memperlihatkan matanya yang panik setengah mati. Aku masih tak percaya apa yang dikatakannya padaku. Jadi aku hanya menjawabnya dengan tertawa seperti melecehkan.

Bi Marsih sepertinya tidak terima jika ia mendapat tawa seperti itu. Jidatnya mengernyit kesal. "Ini serius nyonya!" Katanya pada mama yang sama - sama memasang wajah tak percaya. "Ayo ikut saya sekarang!" Ajak Bi Marsih pada kami berdua.

Aku memang tidak percaya, tapi aku perlu bukti untuk membuat diriku percaya. Bi Marsih, aku, dan mama pergi ke toilet dengan setengah lari. Aku tahu, nafas Bi Marsih sudahlah kosong. Jadi aku memutuskan untuk jalan saja.

"Tuh, non Talia gak ada disini!" Katanya pada kami berdua seraya membuka pintu toilet wanita yang kosong seluruhnya. Jika dilihat dari luar, tidak ada tanda - tanda keberadaan orang disini. Tapi aku masih tak percaya. Jadi aku memutuskan untuk masuk ke dalam. Untuk kali ini, aku tidak peduli jika tempat yang kumasuki ini adalah toilet perempuan.

Kubuka satu per satu pintu WC ini dengan cepat. Tidak ada siapa - siapa. Tunggu. Jendela itu, terbuka. Jadi, Kak Talia kabur? Seutas pertanyaan aneh melesat di otakku.

"Ma! Ada jendela yang kebuka!" Teriakku dengan lantang yang membuat ruangan ini bergema. Mama dan Bi Marsih nendatangiku dengan memasang wajah panik pada keduanya. Mama dengan cepat langsung menerobosku menuju jendela itu.

"Jendela itu muat buat badan kakak..." aku sengaja memberi jeda "jadi kak Talia, kabur?" Tanyaku dengan memberi nada tanya dan penjelasan. Bi Marsih membulatkan matanya seperti orang ketakutan. Sedangkan mama, mengeluarkan setengah tubuhnya lewat jendela itu sambil melihat ke sekeliling. Beberapa saat kemudian ia kembali memasukan tubuhnya ke dalam. Rasa khawatir, panik, takut, bercampur aduk mengisi seluruh wajah mama.

Masalah ini semakin rumit saja. Kedua orang tuaku ingin cerai, lalu ada masalah baru muncul, yakni Kak Talia hilang. Rasanya lebih baik mati daripada mengikuti aliran permasalahan hidupku.[]

***

Broken Home (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang