Bab 12

5.5K 250 5
                                    

SUDAH 3 kali purnama lewat begitu saja di langit malam. Membingkai sinar indah nan lembut bersama jutaan bintang di sekelilingnya. Walau hanya dapat melihat dari balik jendela di ruangan yang sama dan meski terasa membosankan, aku tetap bersyukur dapat melihatnya kembali.

Besok adalah hari yang sangat ditunggu - tunggu, tetapi bagi Mama. Sedangkan aku? Kata "senang" di kamus bibirku saja sulit ditemukan.

Sekarang pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Yang tandanya sudah telat tiga puluh menit dari jam tidurku biasanya. Rasa gelisah ini membuatku ingin tetap terbangun, tapi apa daya jika mata sudah berat untuk terus terbangun.

Sepasang bola mata ini tak kuasa lagi menahan beban kantuknya hingga tertutup secara perlahan. Dan dengan perlahan pula alam mimpi menarikku ke dunianya bagai helaian angin tipis yang sanggup menopangku untuk menjelajahi cerita mimpiku kali ini.

***

Hampa. Aku mulai membuka kelopak mataku perlahan tapi pasti.

Tak sedikit pun ada cuplikan dari mimpiku semalam yang teringat. Hukum mimpi, selalu begitu bukan?

"Kak bangun, sebentar lagi dokternya dateng," Mama menyapaku lembut dengan seulas senyum tipis di wajahnya.

Aku mengedipkan mata beberapa kali hingga tersadar sepenuhnya. Setelah itu aku memposisikan diriku terduduk di kasur ini.

Hanya dalam hitungan menit lagi, perban yang membelit kepalaku ini akan terbuka. Yang tandanya aku sudah sembuh total.

Rasa gugup yang sama dengan tadi malam, menyambutku lagi. Degup jantung ini kian tak menentu, dan mengundang napas yang tak teratur pula.

"Kenapa kak?" Entah sudah berapa lama aku termangu, hingga aku tak sadar bahwa Steven sudah berdiri di samping kananku sambil menaruh mimik bingungnya.

"Enggak kenapa - kenapa kok, cuma..." aku mencoba menarik napas untuk memberi jeda, "gugup doang." Namun hal itu membuat nadaku bergetar.

"Gugup karena pulang?" Bibirnya kali ini terangkat hingga terbingkai seulas senyum.

Aku menganggukan kepala beberapa kali dengan perlahan, atas kehendak ragu dan takut.

Ia membingkai senyumannya lebih lebar lagi, dan garis wajahnya membuat dirinya terlihat lebih tampan. Satu hal yang aku herankan, ia memiliki bentuk hidung yang sama dengan Mama.

Dengan kesamaan itulah aku mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa ia adalah adikku. Tapi sudah kukatakan bukan? Aku tidak akan percaya sampai aku mengingatnya sendiri.

Tak lama kemudian, suara khas pintu terbuka menyeruak tepat pada gendang telinga kami semua. Aku mulai menarik tatapanku ke arah pintu dengan perlahan.

Munculah sesosok dokter lengkap dengan jas kebanggaannya, serta dua suster lain yang berjalan santai di belakangnya. Seperti di film - film, tapi memang benar adanya.

Mama yang semula terduduk di kursi plastik itu, terbangun dan segera menghampiri mereka bertiga.

"Pagi Talia," sapa dokter yang mendampingiku selama aku di rumah sakit ini. Senyumnya memberiku sedikit ketenangan, tetapi sayangnya, tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa takutku pada kata 'rumah'.

Mataku tak bisa terlepas dari pintu, tempat ketiga karyawan rumah sakit ini masuk. Setiap tetes darah yang berhasil terpompa oleh jantung ini, membuat tumpukan rasa gugup hingga membuat tanganku mati rasa.

Mungkin kalian akan menganggapku berlebihan, tapi itu yang kurasakan sekarang. Kalian tak tahu betapa beratnya hidup yang kurasakan. Kalian tak akan tahu bagaimana rasanya kembali ke tempat tersuram kalian.

Di tempat itulah retakan kecil pada sebuah keluarga sejahtera kami mulai terbentuk. Sampai suatu saat, retakan itu membesar hingga membuat lempengan kaca itu terbagi menjadi butiran kaca yang memecah-belah kami tanpa adanya sedikit toleransi.

Kejam. Sangat kejam!

Namun, tak ada yang namanya hidup jika tak ada permasalahan.

"Tal?" Suara dokter tadi menarik lamunanku. Meninggalkan jejak suara di kepalaku.

"Ya?" tanyaku dengan napas tersengal - sengal. Bukan menangis, tapi hampir.

"Dibuka sekarang ya?" Aku hanya mengangguk pasrah. Berharap hal ini tidak terjadi. Berharap-semua-ini tidak terjadi. Semua. Itu bagaikan angan - angan yang akan terkabul jika aku mengatur mundur ketiga jarum pada arlojiku.

Tangan sang dokter menyentuh dahiku dengan perlahan. Saat itulah mataku terpejam dengan sangat dalam. Hanya kegelapan yang nampak di mataku, meninggalkan rasa berdebar - debar ini.

Setiap satu putaran perban yang terlepas dari kepalaku, terasa seperti hitungan mundur yang mencoba melahapku dengan perlahan. Hingga terlepaslah perban ini seutuhnya. Pria itu membuka perbanku ini dengan perlahan, namun bagiku terasa cepat layaknya tempo detak jantungku sekarang.

"Dah, selesai," senyuman puasnya tak terlepas dari wajahnya selama pelepasan perban ini. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum simpul.

Setelah itu, dokter itu mulai berbincang - bincang dengan Mama. Namun, hanya terdengar suara tipis yang ingin kutangkap. Mereka tidak sedang berbisik, tetapi aku yang tidak ingin memfokuskan pendengaranku pada percakapan mereka.

"Stev, jam berapa kita pulang?" Berat rasanya untuk mengatakan kata "pulang".

"Jam setengah dua belas," jawabnya sambil menyilangkan tangannya di depan dada.[]

***

Hai! Jangan lupa VOTE dan COMMENT!

Makasih

Broken Home (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang