Bab 9

6.9K 352 7
                                    

"KAK?" Panggil wanita itu membuatku tersentak. Lagi.

Mataku tak bisa lepas dari wajahnya. Aku ingat akan semua lekukan yang membingkai wajahnya. Tegas, namun lembut dan penuh kasih sayang.

"Aku tau siapa anda." Ucapku dengan setengah suara. Sorotan mataku membuat suasana di ruangan ini mendadak mencekam dan dipenuhi rasa penasaran.

Mata wanita itu terbelalak mendengar perkataanku. Mungkin di dalam benaknya ia sudah berkeringat karena gugup.

Berbeda dengan laki - laki remaja yang sedang berdiri di sisi kananku. Ia malah mengerutkan kening walau dengan tatapan sejuta rasa penasaran.

Seiring bertambahnya waktu, tatapan mereka semakin membuatku takut. Seakan sedang berada di meja persidangan.

Semula tanganku berada di atas kasur, dan sekarang kedua tanganku memegang besi pinggiran bed ini dengan sangat erat, hingga kuku-ku memutih. Lalu rasa dingin besi itu merambat ke telapak tanganku.

Aku terdiam sebenarnya dipengaruhi oleh dua faktor. Yang pertama karena aku takut terhadap respon mereka berdua. Dan yang kedua, karena aku sedang menyusun kalimat agar mereka paham.

"Siapa?" Tanya wanita itu dengan sangat - sangat penasaran.

"Aku tak tahu siapa kamu," aku menghela napas untuk mengambil kalimat yang telah disusun tadi lalu melanjutkannya, "namun aku tahu satu hal darimu, yakni kasih sayang."

"Saya ini mama kamu!" Sahutnya dengan mata yang terbuka dengan lebar daripada yang pertama.

"Bukan! Kamu bukan mama saya!" Bentakku dengan cepat. Aku tahu pasti kalimat itu telah membuat kilatan tajam yang menusuk hatinya.

Wanita itu berkedip beberapa kali dan memundurkan tubuhnya. Ia memaparkan ekspresi berbeda dari yang barusan.

Alisnya berkerut, menggambarkan kekecewaan. Namun senyum tipis yang terbingkai di bibir merahnya, menggambarkan kelegaan.

"Cuma itu." Ucapku memecah raut wajahnya dengan nada lembut, mendekati tipe suara parau.

Aku menutup mataku. Berusaha meraih sejuta kenangan lain yang terpendam di dalam otakku ini. Apakah benar, ia adalah mamaku? Bukan. Aku yakin seratus persen.
Tapi siapa?

***

Roda pada kursi yang kutumpangi ini melaju perlahan. Mengalir mengikuti desiran udara dingin AC yang menerpa tubuh ringkihku. Lalu disambut langkah kaki laki - laki remaja tersebut yang berada tepat di belakang diriku, sambil mendorong kursi roda tersebut.

"Ke taman yuk, kak?" Tanyanya dengan nada ceria. Aku terdiam. Tertegun. Mengulang setiap perkataan yang ia keluarkan yang diakhiri dengan kata "kak".

Tiba - tiba mataku menutup tanpa disuruh. Emosi memuncak pada ubun - ubunku dan sekarang tak bisa ditahan lagi.

"Aku bukan kakak kamu!" Bentakku dengan lantang, memenuhi koridor rumah sakit ini. Kursi roda itu berhenti mendadak begitu kalimat itu melesat pada telinganya.

Seluruh mata dari segala penjuru di koridor ini menyorot pada mataku. Aku menatap dengan sangat malu. Tentu saja. Tidak seharusnya aku berkata demikian di hadapan orang banyak. Lagi pula, apa salahnya dia memanggilku "kak" toh dia jauh lebih muda dariku. Dan baik.

"Maaf ya," ia melanjutkan dengan nada ragu, "Tal?"

Nada bicaranya menggambarkan raut menyesal, aku tahu itu. Dan itu membuatku semakin merasa bersalah.

"Gak papa. Lagi kebawa emosi aja sama ibu - ibu yang tadi." Jawabku dengan nada perhatian. Berharap ia mengerti mood ku sekarang.

Ia terdiam. Dan aku ikut terdiam. Dalam pikiran masing - masing.

Tanpa disadari, kami berdua masih dalam posisi yang sama. Yakni, di tengah jalan koridor ini. Dan aku yakin kami pasti dikira orang aneh sekarang. Atau malah aku dianggap orang gangguan jiwa? Entahlah.

"Ayo, jadi ke taman kan?" Tanyaku memecah gelembung pikiran masing - masing.

"Eh, iya jadi kok." Jawabnya dengan kikuk.

Dengan sigap, ia melajukan kursi roda ini menuju taman belakang rumah sakit. Yang katanya saat sore seperti ini, banyak pasien anak - anak penderita kanker sedang bermain disana. Pasti mengasyikan.

Sesampainya disana, udara khas sore hari menerpa pipiku dengan lembut. Diiringi gelak tawa anak - anak tak berambut. Alias botak. Ada yang botak seratus persen, ada yang hampir botak seutuhnya.

Dan omongan suster tadi ternyata benar, banyak anak - anak penderita kanker yang sekarang sedang bermain di taman ini.

Mataku tiba - tiba terpaku pada anak kecil perempuan yang sedang berjongkok sambil menatap sekuncup bunga mawar kecil. Apa yang ia pikirkan? Benakku merasa penasaran pada hal itu.

"Stev, aku mau ke anak kecil itu dong." Ucapku dengan menjulurkan telunjukku pada anak kecil itu. Ia berada tepat di serong kananku. Tak lama, laki - laki remaja ini-Steven-mendorong kursi rodaku hingga berada tepat di belakang tubuh anak kecil itu.

Anak itu mengenakan dress biru muda, ditambah topi rajut biru tua yang tergeletak di atas kepalanya. Ia mengenakan topi itu dengan satu tujuan. Yakni menutupi kebotakannya. Tapi itu baru pemikiranku saja.

"Stev, aku mau berdua sama anak ini." Pintaku pada laki - laki remaja tersebut lagi.

Aku menengok ke belakang dan memberi senyuman. Senyuman yang berarti 'maaf sudah buat repot'. Ia membalasku dengan senyuman pula. Lalu tubuhnya berbalik dan melangkah pergi ke kursi taman yang letaknya agak jauh dari sini.

Aku kembali memposisikan sorotan mataku pada anak kecil tadi.

Tanpa tersadar, tanganku menjulur pada pundaknya. Ia tersentak kaget dan langsung membalikkan tubuhnya dengan cepat.

Raut wajahnya semula tenang, kini berubah menjadi malu bercampur takut.

"Hai" sapaku ringan. Hanya untuk membalikan rautnya seperti tadi. Namun tak menghasilkan apapun. Ia hanya terdiam, kaku, dan tangannya berhenti memilin batang bunga yang dipegangnya.

"Adek namanya siapa?" Tanyaku dengan nada lembut. Selembut mungkin.

"A...Arin" jawabnya dengan terbata - bata, dan singkat. Rupanya ia anak kecil bertipikal pemalu. Aku suka melihat anak kecil yang malu - malu sebenarnya mau.

"Dek Arin lagi ngapain?" Tanyaku lagi untuk memecah suasana canggung layaknya bongkahan es kutub utara. Dan, demi terjawabnya rasa penasaranku.

"Main bunga." Jawabnya dengan singkat lagi. Well, kalau begitu aku akan terus mancing kamu biar berani bicara.

"Oh," aku melanjutkan "tapi kenapa bunga yang masih kuncup? Kan ada yang udah mekar." Tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu.

Tiba - tiba ia menundukkan kepala. Lalu ia angkat bicara,

"Karena kuncup itu kaya kami, kak." Ia melanjutkan dengan wajah terangkat, sekarang "yang nantinya kami akan terus tumbuh dan mekar, diiringi penyakit kami yang ikut mekar juga. Dan karena kelopak penyakit kami mekar sempurna, maka akan membuat tubuh kami layu, terus..."

Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Dan aku tahu kemana arah bicaranya.

Aku tertegun mendengar perkataan itu. Mataku tak berhenti menatap bunga kuncup itu. Tak kusangka, ternyata anak baru umur segitu sudah dapat berpikir matang.

Tiba - tiba sekilas gambaran muncul di depan mataku. Lagi.

Ingatan. Batinku berkata.[]

***

A/N

Hai! WEW! Readersnya udh 1K!!! Makasih bangeett yang udh mau bacaa! Thank you so much! Semoga yg ngevote makin byk jugaa!! AMIN!

VOTE terus yak kalo suka sama ceritanya! Dan COMMENT buat ksh saran! :)

Broken Home (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang