Dejavu

856 104 6
                                    

Part 8

Di rumah sakit Singapore
Pukul 07.00

     Billy duduk dikursi rodanya memandang sekelilingnya yang hijau dan dipenuhi bunga-bunga. Michelle tentu saja tak jauh dari Billy, dengan wajah cerianya dia berdiri dibelakang kursi roda Billy, merentangkan tangannya lebar-lebar, menghirup oksigen dari udara yang begitu sejuk.

     Sudah satu jam Billy melakukan terapi luar ruangan dengan dokter dan therapist nya, dia menyelesaikannya dengan baik, wajah Billy tampak lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya, sepertinya dia benar-benar ingin segera sembuh, berjalan lagi, dan berlari mencari istrinya. Sekarang waktunya untuk kembali ke ruangannya, dia mendorong kursi rodanya dengan tangannya sendiri ketika Michelle menarik kursi rodanya dari belakang memaksanya untuk berhenti.

     "Jangan dulu masuk, kita ngobrol-ngobrol dulu disini. Udaranya bagus banget soalnya."

     Billy menengok kearah belakang untuk melihat Michelle, sinar-sinar kebencian mulai menyurut dari sorot matanya. Mungkin karena Billy sudah mulai belajar menerima kenyataan dan takdir yang mengharuskannya bertemu gadis ini.

     "3 menit cuman 3 menit."

     Michelle menepuk-nepuk, dan mencubiti pipinya, memastikan kalau ini nyata, bukan hanya dalam mimpi atau khayalannya saja. Ini pertama kalinya Billy menuruti keinginannya dengan sangat mudah. Aku ga lagi mimpi kan?

     "Kalo lo pikir ini mimpi, lo salah. Meskipun gue berharap ini cuman mimpi."

     Terserah kalau mau nganggep aku egois, tapi aku seneng ini kenyataan! Pikir Michelle.

     Michelle menyunggingkan senyum dinginnya. Dia mengulurkan tangannya kearah Billy, Billy hanya mendongak menatapnya tak mengerti. "Ayo latihan jalan lagi."

     Sekarang giliran Billy yang tersenyum, senyuman sinis, lebih tepatnya seringai. Gadis didepannya itu mudah ditebak, terbaca bagai sebuah buku yang terbuka. Dengan sangat mudahnya dia bisa tahu kalau gadis didepannya itu mengharapkan sesuatu yang lebih darinya, tapi seberapa keraspun gadis itu mencoba, hatinya akan tetap terisi oleh satu wanita. Dinda. Hanya Dinda.

     Billy menghempaskan uluran tangan Michelle ke udara, merubah raut diwajahnya menjadi kelam. Hati gadis ini pasti mencelos menerima perlakuan sedemian rupa hanya untuk menolak kehadirannya.

     "Apa yang lo harepin dari seorang lelaki yang udah punya Istri? Gue ingetin jangan berharap lebih. Gue baik sama lo cuman karena lo udah nolong gue. Sebatas itu."

     JLEB. Kata-kata itu menusuk, bukan, bukan menusuk, tapi mencabik hati Michelle. Harus berapa kali dia mendapatkan perlakuan seperti itu, dan harus berapa kali dia tetap menerima begitu saja perlakuan itu. Dia jadi teringat sebuah kata. Orang yang mencintai akan lebih lemah daripada yang dicintai. Tapi mereka yang saling mencintai lebih kuat daripada apapun. Dan sayangnya, sekarang dia diposisi mencintai, yang membuatnya begitu lemah dihadapan Billy.

     Billy tak memperdulikan waktu tiga menit yang diberikannya pada Michelle, entah sudah berakhir atau belum sama sekali, dia jenuh menghadapi Michelle yang terus menerus berharap padanya. Bukan karena Michelle tak cantik, bukan karena Michelle tak baik. Tapi karena dia sadar betul rumah terindahnya adalah Dinda dan calon bayinya, tak ada tempat pulang lain. Dia memutar roda kursi rodanya.

     Michelle menahan air matanya agar tak terjatuh, dia justru menguji kesabarannya lagi, dia berlari, dan jongkok didepan kursi roda Billy. "Lilin menyala yang ditutupi gelas perlahan akan meredup sampai akhirnya mati karena tak ada udara didalamnya."

DESTINYWhere stories live. Discover now