Lima orang sahabat itu jatuh ke dalam sebuah lorong panjang. Dengan volume suara yang lumayan kencang, mereka berteriak ketakutan. Hingga, suara mereka menggema dan memantul di dinding-dinding lorong.
Dengan waktu kurang dari dua puluh menit, kelima orang itu telah jatuh di atas permukaan berumput. Mereka masih menyesuaikan nafas agar temponya kembali beraturan. Tentunya, masih memakai seragam sekolah dan memakai tas ransel.
"Au, untung aja deh kita jatuh di atas rerumputan. Kalau kita jatuh di permukaan batu bata sudah pasti kita tidak akan mempunyai pantat lagi untuk selama-lamanya" Kata Pingkan .
"Ya, aku sependapat deh sama kamu. Tapi ini di mana?" Tanya Alycia .
"Haduh, jangan-jangan kita pergi ke dunia dongeng yang tadi kita baca ceritanya!" Seru Albert.
Semuanya berusaha untuk berdiri kembali. Ternyata, masih siang. Angin berhembus dan melewati sela-sela tubuh mereka.
"Andai saja tempat tinggal kita udaranya sejuk seperti ini" Kata Steven mendesah.
"Hmm" Hampir semuanya menggumam.
"Sekarang kita harus bagaimana. Di dunia ini pasti ada monster -monster itu." Kata Cheryl, angkat suara. Getaran terdengar dari ucapannya, menunjukkan sebuah ketakutan.
"Tenanglah" Steven menggandeng Cheryl. "Kita sudah tau kisah tentang monster itu kan teman-teman! Kita hanya perlu bertanya pada warga dan menginap di rumah mereka."
"Iya juga sih. Tapi, bagaimana kalau mereka mengira kita adalah monster yang sedang berubah wujud?" Albert ikut berpendapat.
Alyc menggeleng. "Kita harus coba dulu"
Semua anak mengangguk mantap. Kelima orang remaja itu mulai memantapkan langkah mereka untuk menuju keramaian.
Sebenarnya, dunia di sini dengan dunia yang mereka tinggal sebenarnya tidak jauh berbeda. Di sini ada kantor, rumah, sekolah, bahkan fasilitas umum lainnya. Hanya saja, di sini sangat terasa aura ketakutan dari orang-orang.
"Bagaimana cara kita bertanya. Gimana kalau bahasa kita berbeda dengan bahasa mereka. Bagaimana kalau rupa mereka tidak sama dengan rupa kita?" Tanya Pingkan.
Steven yang kalem menatap langit. "Sudah nasib kita berada di sini. Mungkin takdirlah yang mempertemukan kita untuk mencapai suatu tujuan. Mungkin juga kita diutus untuk menolong negeri-negeri yang membutuhkan pertolongan. Tapi, dengan takdir, kita tidak bisa menghindar"
Sahabat-sahabat itu menundukkan kepala. Mencerna ucapan yang Steven katakan. Namun, apakah mereka tau arti takdir yang sesungguhnya?
Dengan tetap bergandengan tangan, kelima orang sahabat itu tetap berjalan di dalam kebisuan. Di saat itu, ada seorang anak perempuan yang sepertinya sudah remaja lewat di depan mereka. Secara reflek, Albert memanggil wanita itu.
"Hei!"
Dengan cepat, remaja itu menoleh. Melihatkan wajahnya. Anggota kelompok CAPAS itu hampir menahan nafas.
"Cantik" Suatu kata yang mereka ucapkan dari dalam hati dan hanya akan terkurung di dalam hati.
"Ada apa?" Tanya seseorang yang tinggal di sini itu. Dia memakai kaus putih dan celana panjang kain. Tapi, yang dikatakan buku itu benar, wajah warga-warga di sini menunjukkan ekspresi ketakutan. Tampak dari wajah remaja itu.
"Apakah kita bisa menginap di sini untuk tinggal? Kami baru saja tersesat" Kata Pingkan, sudah sadar dari dunia kayalannya.
"Tapi..." Sahut wanita itu, takut.
"Tenanglah, kami bukan monster. Apakah sebegitu menyeramkan wajah kami?" Tanya Steven.
Remaja perempuan itu mengangkat wajahnya dengan pipi memerah. Dengan malu-malu dia menjawab "Maafkan aku. Tapi aku berhati-hati saja. Namaku Carol. Senang berkenalan dengan kalian"
Carol mengatakan itu semua seakan-akan rasa takutnya telah meluap dan hilang.
"Jadi, langsung saja menuju rumahku!" Seru Carol lalu berusaha menggandeng Steven. Sepertinya cepat sekali dia jatuh ke dalam jurang yang bernama 'Cinta'
Pingkan dan Cheryl merasa aneh dengan perkenalan ini. Kenapa Carol tidak meminta mereka untuk berkenalan dan mengapa Carol sepertinya tidak berniat untuk mengetahui nama kelompok mereka CAPAS.
Namun, mereka cuek saja dengan hal itu dan tetap berjalan sesuai arah Carol pergi. Keadaan di sana memang benar-benar ketakutan.
Sepertinya Steven merasa tak nyaman bila digandeng terus-menerus. Akhirnya, dia melepas tangannya dari gandengan si Carol.
Tiba-tiba, Carol berhenti berjalan dan menoleh kepada Steven. "Kau tidak suka padaku?"
" Tidak, cinta tidak secepat itu untuk tumbuh. Perasaan hanya tumbuh jika ada akar kuat yang menahannya" Jawab Steven tetap kalem.
Semua sahabat Steven kaget dia mengatakan hal seperti itu. Tidak biasanya seperti itu.
"Baiklah" Gumam Carol. Dia tidak lagi menggandeng Steven sekarang, namun masih menuntun CAPAS dalam perjalanan. Mungkin mereka akan ke rumah Carol.
Akhirnya, setelah sekitar dua puluh lima menit berjalan dalam kebisuan, kelompok CAPAS dan Carol telah sampai di rumah sederhana bertingkat dua. Rumah itu bercat putih. Ada pagar bercat hitam yang menjulang lumayan tinggi di situ.
"Rumahmu tampak... Keren" Kata Cheryl tepesona.
"Biasa saja" Sahut Carol" Ini hanya sebuah rumah kan? "
Semua mengangguk mengerti. Lalu, mengikuti Carol untuk masuk ke dalam rumah. Namun, masih ada pekarangan hijau yang luas di halaman. Di situ, ditumbuhi berbagai tanaman pohon dan berbagai tanaman berbunga indah.
Carol mengambil sesuatu yang berkilau dari dalam tasnya, itu adalah kunci. Dia membuka pintu itu.
Mereka masuk dan takjub dengan ruangan tengah atau ruang tamu itu. Ruangan itu begitu bersih dan besar.
"Apakah kami boleh menginap di sini?" Tanya Alyc, berharap.
Carol mengangguk. "Kalian yang perempuan bisa tidur di kamar sebelah sana" Sambil menunjuk pintu putih bermotif bunga " Dan kalian laki-laki bisa tidur di kamar sana" Carol menunjuk pintu kayu yang terukir dengan rapi.
Mereka semua mengangguk. Tapi lagi-lagi bingung tentang pakaian. Namun, mereka tidak menghiraukannya. Akhirnya, kelompok itu pergi ke kamar sesuai dengan jenis kelaminnya.
Di kamar perempuan.....
"Uh, capai ya" Kata Pingkan memulai. Sambil meletakkan tasnya di atas kasur. Jumlah kasur di dalam kamar itu adalah tiga buah. Pas bagi mereka yang kini bertiga.
"Iya" Jawab Alyc dan Cheryl. Mereka bertiga kini duduk bersebelahan di kasur yang akan dihuni oleh Pingkan.
"Aku takut nih, gimana kalau kita harus terjebak di sini?" Tanya Cheryl.
"Hmm, ingat-ingat saja kata Steven. Ini semua mungkin saja karena takdir. Secara tidak sengaja, kita mau tidak mau harus percaya bahwa takdir membawa kita kepada hal yang baik" Jelas Alyc sambil memegang tangan Cheryl.
Pingkan dan Cheryl mengangguk kecil. Menyetujui ucapan Alyc.
"Mungkin kali ini kita akan jadi tokoh yang mengubah legenda itu" Kata Cheryl.
"Aku setuju sama dengan kalian berdua" Sahut Pingkan pasrah.
Di kamar laki-laki........
"Aku sama sekali tidak menyangka" Ucap Albert pasrah. Lalu, dia meletakkan tasnya di dalam lemari kayu di sana. Di dalam kamar itu, sudah tersedia dua kasur yang pas bagi mereka.
"Kenapa?" Sahut Steven bertanya.
"Bagaimana kalau kita harus menjalankan aksi yang berbahaya?" Tanya Albert.
"Kita harus yakin kalau takdir adalah hal yang baik" Jawab Steven merangkul Albert.
Albert mengangguk lalu memandang Steven yakin.
----------- BERSAMBUNG ------------
A.N: Gimana? Ceritanya bagus kan? << authornya gr. Oke, bagi yang berkenan, bisa langsung vote cerita ini. Bagi yang berkenan, kasih saran lewat komentar dan bisa ada cerita ini ke library anda.
Sekian dan terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time
FantasiKisah lima orang sahabat yang menemukan sebuah buku tua bersampul coklat yang kira-kira berumur ratusan tahun. Mereka penasaran dengan dongeng yang ada di dalam buku itu lalu membacanya. Apakah yang akan terjadi setelahnya? Apakah mereka tersesat...