Mata Ke Hati

304 27 4
                                    

Perlahan ku buka mataku, kepalaku masih terasa berat.
Ini pasti di UKS. Wangi obat-obatan menusuk hidung.

Kutoleh kearah pintu, terbuka. Kupejamkan mataku lagi, tak apalah. Aku hanya ingin istirahat sedikit lebih lama.

Kurasakan dingin di pipiku, aku terkejut dan langsung membuka mata.

"Udah baikan?" Mikha menjauhkan air mineral yang dingin itu. Dia malah memberikanku segelas teh hangat.

"Minum dulu."

Rasanya hangat di tubuh. Aku hanya diam, aku gak tahu mau bilang apa. Oh iya..

"Terima kasih ya. Kamu udah nolongin aku." aku tertunduk malu.

"Nih makan dulu." dia menyodorkan sebungkus roti.

"Lagian lo juga bego. Udah tau sakit, jalan sendirian. Ga langsung makan lagi."

"Cherrel?"

"Apaan?"

"Cherrel yang kasih tau?"

"Haissh, gue tau lo. Belajar dari pengalaman."

--
"Mikh tungguin dong. Duh jangan lari-lari gitu. Awas ya kalo aku bisa kejar kamu."

"Berhenti ngejer-ngejer aku. Jauh-jauh sana!" Mikha kecil masih berlari menjauh.

Lucunya, kami berkejaran mengelilingi rumah. Aku geram ingin bermain dengannya. Tapi dia selalu menghindar

Tiba-tiba ada rasa nyeri di perutku. Lariku mulai melambat. Berakhir dengan rintihan, lalu tersungkur. Kupegangi ulu hatiku. Perih.

Kulihat ke depan. Mikha sudah menghilang dibalik tembok. Aku tak bisa menggapainya.

--

Ternyata Mikha memperhatikanku selama ini. Bagaimana dia bisa tahu? Bagaimana caranya?

Baiklah, aku mulai tersenyum sendiri. Aku tertunduk malu. Tapi tak bisa kututupi. Aku harus tenang.

"Itu cuma masa lalu Mikh." aku berusaha bersikap biasa.

"Masa lalu yang bisa dijadiin pelajaran kan?" dia tersenyum.

Sepanjang perjalanan ke kelas, bahkan saat ingin pulang sekolah, aku hanya diam.
Aku masih bingung. Semua hal di masa lalu dan keadaan sekarang terus berputar di kepalaku.

Bukannya baikan, aku merasa semakin buruk.
Hal hal seperti inikah yang harus aku rasakan ketika aku mencintai seseorang dan berada didekatnya?

Kurasakan tenggorokanku kering, sedikit sakit jika ingin menelan. Gejala pilek.

Kurasakan ada yang bergetar di saku ku.

"Halo.." ku sapa orang yang ada di ujung telepon sana.

"Halo non. Ini Pak Amri. non udah pulang ya?"

"Sudah pak. Bapak dimana? Udah di jalan?" tumben Pak Amri sedikit lebih lama telatnya. Aku pusing, ingin pulang lebih cepat.

"Maaf non. Ini saya lagi di jalan mau ke bandara. Mau jemput bapak."

Aku menghela nafas. Aku terlalu lemas untuk menjawab hal lainnya yang ditanyakan Pak Amri.

Dia terus saja minta maaf. Toh percuma juga, Pak Amri tidak akan menjemput, alasannya menjemput Papa dan harus mengantarnya lagi ke Bandung untuk rapat. Dasar si Papa selalu sibuk.

Setelah menutup telepon, aku terduduk. Badanku masih terlalu lemas untuk berjalan menuju ke gerbang. Sekolah terlihat sepi. Masih ada anak-anak ekskul mading dan OSIS yang hilir mudik, sibuk. Mungkin mereka akan mengadakan kegiatan.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang