Bahagia

291 27 2
                                    

Semilir angin menemaniku pagi ini. Begitu menenangkan, hangat, setelah sekian lama aku membenci matahari yang dulu membawa senyumku, akhirnya aku kembali mencintainya. Kembali menikmati hangat sinarnya yang menerpa wajahku, wajah yang membawa senyum terindah pada hari ini.

Pak Amri fokus mengendarai mobil, jalanan pagi ini lumayan lenggang.

Tatanan kota Jakarta banyak berubah. Banyak gedung-gedung tinggi yang baru, sudah ada ruang jalan yang lumayan luas bagi para pejalan kaki. Sepertinya aku tertarik untuk berjalan kaki menuju tujuanku.

Tahukah kamu? Hari ini aku akan berkunjung ke rumah Mikha. Seperti janji ku pada Reuben kemarin. Huhhhh.. Jujur aku gugup.

Mobil yang aku naiki berhwnti tepat di sebuah rumah bergaya minimalis. Rumah yang selama 4 tahun ini aku hindari. Semata-mata hanya agar tidak terjerumus lebih dalam lagi, terjerumus dalam luka akibat suatu kenyataan pahit.

Kupegang kantong plastik berisi brownies cokelat, setahuku ini makanan kesukaan Andrew. Kupandangi daun pintu rumah ini, kupandangi juga sekitar rumah, sepertinya terlalu sepi. Berbeda dari 4 tahun lalu.Tanganku sedikit bergetar, aku gugup. Bagaimana nanti keluarga ini tidak mengenal aku lagi? Atau bahkan mereka tidak suka denganku yang sekarang?

Kutarik nafas dalam-dalam, ku pencet bel rumah ini. Selang beberapa waktu pintu pun dibuka. Duh, bagaimana reaksinya? Ku tutup mataku sejenak, aku mencoba tersenyum sebaik mungkin untuk menghadapi sosok wanita yang membukakan pintu.

"Audrey yah?!" wanita ini begitu ramah, menyambutku dengan senyumnya yang membuat nyaman. Tak berubah sama sekali, ia tetap cantik.

Aku mengangguk setuju. Lidahku terlalu kelu untuk berkata-kata. Bahkan untuk mengatakan "ya" pun alangkah sulitnya.

Wanita ini memelukku singkat.

"Apa kabar Drey? Astaga, udah lama banget ya gak main kesini."

Aku hanya tersenyum. Kucoba untuk menjawab.

"Biaya pesawat Sydney-Indo mahal tante." aku mencoba mengendalikan suasana.

"Audrey bisa aja nih. Yaudah ayok masuk." ia menarik tanganku lembut. Mengajakku masuk. Aku hanya mengikutinya saja.

Kupandangi rambut hitamnya yang tergerai indah. Senyumnya sama seperti dulu. Teduh, menenangkan. Bahkan senyumnya mengingatkanku pada sosok Ibu yang 11 tahun aku rindukan.

Tante Yvone Hubner. Ibu dari keempat bersaudara yang penuh dengan bakat. Keempat bersaudara yang menemaniku, memberiku banyak tawa, juga banyak luka.

"Om lagi ada tugas luar kota. Biasa ikut pameran buku." tante Vo tersenyum.

Disinilah kami, duduk di ruang makan yang tidak bersekat langsung menampakkan dapur.

"Tante kangen banget sama Audrey. Kok baru sekarang kesininya? Setahu tante Audrey balik ke Indonesia udah beberapa bulan yang lalu." tante Vo menuangkan Jus Jeruk ke dalam gelas untuk kami berdua.

"Maafin Audrey tante. Audrey baru sempet mampir kesini, banyak urusan yang harus diselesaikan."

"Anak-anak belum pulang dari jogging. Padahal udah jam 10 lewat."

Aku hanya tersenyum. Mungkin mereka mampir untuk main futsal.

Setengah jam berlalu, aku dan tante Vo banyak bercerita tentang masa-masa yang telah kami lewati selama 4 tahun terakhir.

Mungkin karena tante Vo adalah sahabat Mama dulu, makanya aku nyaman bercerita panjang lebar dengannya.

Terdengar suara pintu yang terbuka. Mungkin itu mereka. Astaga aku seketika gugup.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang