Reality

296 31 7
                                    

~~

Mendung sempurna menaungi kota ini. Gemuruh guntur mencoba memberikan sedikit bumbu kekelaman.

Gadis itu berjalan membelah jalan yang lenggang. Sepi, menjelang hujan.
Angin terus berhembus.

Tak jauh dibelakangnya, seorang pemuda memperhatikan dengan santai. Sosok pelindung tangguh yang siap menuntun Audrey kembali berdamai dengan masa lalunya.

Audrey's POV

Jalanan lenggang membuat hatiku sepertinya semakinbebas untuk mengekspresikan semuanya. Bulir-bulir bening itu lama kelamaan menetes meninggalkan alur di pipiku.

Suasananya mendukung untuk menambah tikaman di hati.

Deras semakin deras. Lama kelamaan aku terisak.

Begitu sakit rasanya. Lebih menyakitkan dari luka yang kemarin.

Saat Mikha menolak untuk dekat denganku waktu itu, huh.. Itu belum seberapa dari rasa sakit yang sekarang ini.

Aku... Aku tak tahu harus bagaimana? Mataku penuh dengan air yang menggenang. Jalanan semakin kabur karena bulir air mataku, jalanan pun gelap.

Aku tahu, kalau aku pulang sekarang, dengan keadaan mata sembab dan muka merah, pasti Bu Asih bingung dan panik.

Kuputuskan untuk duduk sebentar di kursi taman komplek. Setidaknya aku bisa menangis sendirian, tanpa ada yang mengganggu dan terus bertanya.

Author's POV

Audrey duduk diam di kursi taman itu. Angin semilir menerbangkan anak rambutnya. Indah, namun air mata itu mengganggu semuanya.

Tubuhnya berguncang hebat, menandakan bahwa tangisnya sudah pecah sedari tadi.

Seharusnya ada seseorang yang berada di sampingnya saat ini. Menemaninya, menghibur dan memberi kekuatan baginya. Kekuatan untuk menghadapi kesakitan lainnya.

Pemuda itu tetap berdiri menandangi gadis itu. Malang? Bukan itu pikirannya. Kasihan? Tidak.

Terlihat dari garis wajahnya, Reuben amatlah khawatir. Ia tahu persis kebiasaan Audrey. Selalu terisak saat menangis, menangisi hal yang sama. Tentang perasaan yang belum pernah tersampaikan.

Semburat merah langit sudah hampir menghilang. Tertutupi sempurna oleh kemegahan gelap malam.

Lampu jalan sudah menyala. Menandakan ini sudah malam.
Tetapi gadis itu belum juga berhenti menangis, bahkan dia sekarang menenggelamkan wajahnya ke lipatan tangannya.

Gemuruh memecah keheningan. Malam ini sepertinya akan turun hujan.

~Audrey's POV~

Kurasakan tetes hujan mulai menyentuh kulitku. Kenapa hujan selalu datang disaat yang tepat?

Datang disaat suasana hatiku benar-benar butuh topangan. Disaat aku ingin menangis.
Disaat aku butuh air mata yang mungkin akan membasuh luka. Mengurangi sedikit perih di hati.

Mama benar, menangislah di waktu hujan. Karena hanya hujan yang mampu menutupi semuanya. Menutupi air mata penuh luka, menutupi rapuhnya hati, menutupi kenyataan yang teramat pahit, meskipun hanya sesaat.

Bulir air hujan semakin banyak. Aku bebas menangis sekarang. Tubuhku semakin berguncang karena tangisan ini.
Dingin menemaniku, memberikan kehangatan pelukan seorang Ibu.

Tiba-tiba ada kain tebal menutupi puncak kepalaku.

"Hujan deres. Pulang." tangan itu meraih tanganku. Menggenggam tanganku dan membawaku pergi, beranjak dari bangku taman.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang