Ada imperfeksi tergurat dalam tawamu, namun tak menggoyahkan anestesimu padaku.
Hei, kurva yang indah pada sepasang netramu, apa rona pada irisnya?
Hingga aku lupa menanya visiku atas warna, apakah kokoa atau jelaga.
Karena anestesimu mengekang afeksiku hingga tiada ingat lagi aku akan apa yang hendak kutanya.
Ah, kau tak tahu bagaimana vibrasi atas debar jantung yang tergesa menyela nadi saat retinaku memotret sosokmu.
Apa yang kau tahu? Apa yang kau pahami tentang rasaku?
Hanya perempuan biasa. Yang tak memiliki rasa apa-apa. Mungkin, itukah yang tercetak dalam benakmu?
Karena angin terus melupakan hujan, sementara rintiknya merindu pawana.
Angin tak peduli dan menghela.
Tapi hujan, entah hingga kapan akan memuja angin.
( ternyata, netramu obsidian. jelaga sempurna hingga tampak bagai satu warna, menyamarkan pupilmu yang serupa )
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Selaksa Kata
Poetry[antologi puisi] ;tentang aku, kamu, dan selaksa kata. tentang dusta-dusta euforia maya. tentang hati yang merindu baskara, namun tiada sanggup menjamahnya. tentang afeksi yang tahu destinasinya, namun tak pernah diberi arah.