PROLOG

2.2K 164 29
                                    

***

MEGAN POV

Ada seseorang yang aku tunggu, tapi dia tak pernah muncul lagi sejak dua belas tahun yang lalu.

Dia menghilang begitu saja meninggalkan begitu banyak kenangan.

Dulu dikala usiaku masih empat tahun, dia pernah menghiburku yang sedang menangis karena baju pengantin anak-anak milikku dirusak oleh kembaranku -Janice. Janice mengenakan gaun berwarna pink dan berjanji akan mengganti gaunku yang rusak dengan gaun pink miliknya. Namun aku tidak suka warna pink. Gaun pengantin haruslah putih.

Dan pria itu, pria yang amat sangat dewasa. Om Joe, begitulah aku biasa memanggilnya. Kenapa aku memanggilnya dengan sebutan om? Karena dia tiga puluh tahun lebih tua dariku.

"Jangan menangis ,Megan." Ucapnya halus.

"Tapi aku menyukai gaun itu." Jawabku sambil terisak.

"Makanlah. Besok akan om belikan gaun yang lebih bagus dari itu." Ucapnya sambil tersenyum manis.

Bukan kue coklat itu yang membuatku berhenti menangis, melainkan senyumnya.

Dan om Joe benar-benar menepati janjinya. Dia membelikanku gaun pengantin berwarna putih yang amat sangat cantik. Aku menatap gaun itu tanpa kedip dengan senyum lebar. Sambil mencocokkan gaun itu ketubuh mungilku, aku berputar-putar membuatnya terkekeh pelan.

"Nanti jika sudah besar, Megan pasti akan jadi pengantin yang cantik didunia." Ucapnya.

Gerakanku terhenti dan aku pun mendekat padanya.

"Pengantin?" Ulangku.

Om Joe mengangguk. "Suatu hari nanti Megan akan menikah."

"Dengan siapa Megan akan menikah ,om?"

Om Joe terlihat berpikir sebentar. "Tentunya dengan jodoh yang diberikan Tuhan."

Aku tidak berpikir panjang mengenai jodoh yang dia sebutkan , karena aku masih terlalu kecil untuk memahami. Yang aku tahu aku menyukai om Joe dan ucapan itu pun keluar begitu saja, menyisakan keterkejutan diwajahnya.

"Kalau begitu , jika sudah dewasa aku ingin menikah dengan om Joe!" Ucapanku itu sukses membuat om Joe terbelalak. Sedetik kemudian, dia tertawa sambil mengacak rambutku.

"Baiklah. Kalau begitu cepatlah dewasa." Ucapnya sambil tersenyum. "Tapi berjanjilah Megan akan tumbuh menjadi wanita yang kuat seperti mendiang tante dan ibumu."

Aku tersenyum sumringah dan mengacungkan jari kelingkingku didepannya.

"Promise?"

Om Joe mengaitkan jari kelingkingnya di jari kecilku dan tersenyum manis.

"Promise."

Dan dimulai dari sejak saat itu, aku benar-benar ingin cepat dewasa. Tapi sayang , saat aku berusia enam tahun om Joe harus kembali ke Bali. Restorannya di Shanghai, dikelola oleh karyawannya.

Aku tidak peduli usianya lebih tua dari ibuku. Aku tidak peduli jika nanti aku akan bersanding dengan pria tua. Karena yang terpenting aku menyukainya.

Aku menyukainya yang membuatkan kue coklat untukku. Aku menyukai caranya tersenyum saat mengajarkan aku bagaimana caranya membuat cake. Dan karena om Joe jugalah selulus aku dari SMA, aku berinisiatif untuk mengambil kuliah jurusan pariwisata sebagai seorang chef.

Well, mungkin terdengar konyol. Tapi bukankah jika kau mencintai seseorang, kau juga akan mencintai semua kebiasaannya?

Dan sekarang inilah aku. Aku sudah genap delapan belas tahun sekarang, tapi om Joe tidak juga kembali.

Dia akan kembali untuk menepati janji bukan? Ataukah dia tidak akan pernah kembali?

Setiap aku bertanya mengenai om Joe pada mama, jawabannya adalah seperti ini. "Ommu itu orang sibuk."

Dan jika aku bertanya pada papa, jawaban inilah yang selalu aku dapat.

"Kau salah bertanya pada papa ,sayang. Kenapa tak sekalian kau tanyakan keberadaan om Joe mu itu pada om Faris?"

Come on, bertanya pada om Faris sama saja dengan menggali kuburanku sendiri. Dulu aku pernah membahas soal om Joe dengannya , dan yang kudapat adalah ceramahan tiga hari tiga malam darinya seperti ini, "Apa yang kau harapkan dari bujang lapuk seperti dia? Dia hanyalah pria tua yang gemar tebar pesona pada daun muda. Jauhi dia , jika kau tidak mau om tampanmu ini menguliti si tua itu!"

Om Faris selalu membanggakan dirinya sendiri. Dia tidak sadar jika sesungguhnya dia justru jauh lebih tua daripada om Joe, mengingat usianya yang sekarang sudah memasuki setengah abad. Entah mengapa om Faris tidak pernah bisa akur dengan om Joe. Kata papa, mereka berdua sudah bertingkah seperti itu sejak mereka masih bujangan.

Dengar-dengar, alasannya semata-mata karena om Faris muak dengan tingkah om Joe yang dulu playboy kelas kakap yang gemar tebar pesona.

Aku rasa alasannya bukan itu. Aku yakin kalau om Faris senewen karena om Joe jauh lebih tampan darinya - dimataku tentunya.

Sudah dua belas tahun om Joe pergi dan tak kunjung kembali. Apa dia sudah melupakan aku dan juga janjinya sendiri?

"Kau masih mengharapkan om Joe ,Jie?" Tanya adik kembarku, menyadarkan aku dari lamunanku yang berkepanjangan.

"Dia berjanji akan menikahi aku setelah aku beranjak dewasa , Jan."

Janice melengos, lelah menghadapi jawabanku yang selalu sama. "Itu hanya cinta monyet , Jie. Waktu kecil, cinta pertamaku justru om Faris. Tapi dia om kandungku sendiri dan bahkan sudah punya anak empat!"

Adikku itu kembali melanjutkan perkataannya. "Itu hal yang wajar jika anak kecil seperti kita dulu mengagumi orang dewasa. Ingatlah yang kau rasakan pada om Joe itu sama seperti apa yang kurasakan pada om Faris. Kekaguman Sesaat." Janice menekankan perkataannya.

"Apapun yang kau katakan percuma saja ,mei ! Aku yakin om Joe akan menepati janjinya padaku. Dia hanya sibuk bekerja." Ucapku berusaha membela diri.

Kualihkan tatapanku pada satu angka dikalender yang sudah kulingkari dengan tinta merah. "Lagipula jika dia tidak kembali, aku yang akan menjemputnya." Ucapku sambil tersenyum miring.

Dahi Janice mengerut menatapku. "Apa maksudmu?"

"Aku akan pergi kebali besok." Jawabanku sukses membuat Janice terbelalak.

"APA???"

Segera kubekap mulut adik kembarku itu, jangan sampai mama mendengar jeritannya. Setelah aku yakin jika Janice sudah tenang, aku pun melepaskan tanganku.

"Kau gila! Papa dan mama bisa murka jika tahu ini. Apalagi jika om Faris tahu kalau kau menyusul om Joe, aku yakin perang dunia ke sembilan akan dimulai!" Janice berkidik ngeri.

Seulas seringai muncul diwajahku. "Mereka tak akan tahu." Ucapku sambil mendekat pada Janice dan menariknya menghadap cermin besar dikamarku. Kulepaskan ikatan rambut ekor kudanya dan mengeraikan rambutnya.

Kini kami berdua terlihat sangat mirip, hanya saja gaya dandanan kami saja yang berbeda. Aku lebih suka mengenakan rok, sementara Janice selalu mengenakan celana pendek kemana-mana.

"Mereka tidak akan tahu." Ulangku lagi. "Karena adikku yang cantik ini akan menyamar menjadi diriku."

Mata Janice membesar seperti hendak keluar dari tempatnya.

"APAAAA???"



###

TBC

LANJUT??? Nanti yah. Tergantung kesibukan.

Commentnya yang banyak ya ^^





DTS 5 - Journey Of My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang