DDP 12

9.7K 700 30
                                    

Angin malam berhembus lembut membelai kulit. Sinar bulan yang pucat nampak keemasan di permukaan dedaunan bambu kuning yang bergoyang pelan. Rayan duduk berselonjor di dinding teras yang tingginya selutut sambil bersandar di pilar yang terbuat dari kayu jati berukir. Pandangannya menerawang dengan pikiran melayang. Di sampingnya Tomy juga duduk sambil memainkan Ponsel. Mereka dari tadi tak berucap sepatah katapun. Hanya koor jangkrik dari kejauhan lah yang menjadi peramai suasana.

Rayan masih kesal dengan keadaan yang dialaminya sore tadi. Pertama dengan kedatangan Tomy yang tanpa diundang dan yang kedua karena pernyataan Diki yang mengecewakan petang tadi.

Rayan marah. Ia marah pada dirinya sendiri yang selalu dirundung masalah. Ia juga kesal pada orang-orang yang tak bisa mengerti dirinya. Terlebih-lebih si Diki yang baru-baru ini ia pikir bisa menjadi 'Sang Pencerah' baginya, tapi ternyata mengecewakan.

"Sampai kapan kita bakalan di sini?" tanya Tomy memecah kebisuan.

Rayan tak menjawab. Matanya masih menatap lurus ke depan.

"Masuk yuk?" ajak Tomy.

Rayan tetap membisu.

"Hhh.. sampai kapan juga kamu bakal diam kayak gini?" tanya Tomy lagi.

"Ntar Kakek-Nenek kamu curiga lho..."

"Apa kamu gak suka aku ada di sini?"

"Atau... kamu lagi mikirin cowok kampung itu?"

"Kamu..."

"Shut up!" potong Rayan cepat dan tegas sambil memandangi Tomy dengan pandangan galak.

"Kapan sih lu bisa diam?!"

"Gue capek dengar ocehan lu itu! Kalo mau ngomong ajak Nenek gue sana!!" bentak Rayan kasar sambil berjalan masuk ke dalam.

Kekesalan Rayan makin menumpuk. Ia betul-betul benci melihat Tomy. Ingin sekali rasanya ia mencabik-cabik tubuh lelaki itu.

"Ugh...!" desis Rayan sambil menendang daun pintu kamarnya.

Ia kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang. Kepalanya serasa mau meledak. Apa yang ia alami malam ini terasa benar-benar buruk. Celakanya, ia tak tahu harus pada siapa bisa menumpahkan kemarahan ini. Rayan akhirnya menangis tertahan sambil memeluk bantal guling erat-erat.

KREEKK...

Pintu kamar terdengar dibuka. Rayan buru-buru mengelap air matanya lalu menoleh. Ternyata Tomy yang datang. Ia pun memasang wajah super cemberut.

"Jangan ganggu gue!"ultimatum Rayan langsung.

"Tenaangg... aku-eh, kamu habis nangis ya?" tanya Tomy sambil menyentuh pipi Rayan yang lembab.

"Akh!" desis Rayan sambil menepis tangan Tomy. "Gue udah bilang jangan ganggu gue!"

"Kamu kok nangis sih, Beib?" tanya Tomy lagi.

"Sok tahu Lu!" bantah Rayan. "Gak usah sok perhatian..."

"Aku udah kenal kamu dari lama. Kalo bawah mata kamu udah kemerahan dan bibir ditekuk ke bawah kayak gini, pasti habis nangis..."

Rayan mengerjap-kerjapkan matanya. Ia akui uraian Tomy barusan itu benar. Hampir dua tahun menjalin hubungan dan selalu tiap hari ketemu dengan Tomy, pastilah tuh anak tahu banyak soal Rayan.

"Gue nangis karena lu!" ucap Rayan mengaku juga akhirnya. "Kenapa lu masih di sini, heh?!" semprot Rayan.

Tomy tiba-tiba mendekap kepala Rayan dengan paksa ke bawah ketiaknya.

"Ughh... lu apaan sih?!" seru Rayan sambil berontak.

"Sayaaangg.. Biasanya kamu tidur di bawah ketiak aku kalo lagi galau..." terang Tomy.

Datang dan PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang