DDP 22

8K 606 14
                                    

Kepergiaan Bak merubah keadaan Diki sepenuhnya. Hal ini berimbas juga ke Rayan. Ia tak bisa lagi bebas seperti dulu. Ia juga tak bisa lagi menemani Rayan setiap sore di Padang Hijau. Sebagai anak laki-laki sekaligus anak tertua, kepala keluarga sekarang berpindah di bahunya. Sebagai kepala keluarga, otomatis Diki bertanggung jawab atas kebutuhan hidup Ibu dan ketiga adiknya. Dengan kata lain, ia menjadi tulang punggung keluarganya sekarang.

Rayan sangat sedih melihat beban berat yang harus dipikul kekasihnya itu. Dadanya selalu sesak jika memikirkan tanggung jawab yang diemban Diki. Di atas segala hasratnya ingin selalu menikmati sore-sore indahnya bersama seperti hari-hari sebelumnya, yang lebih penting bagi Rayan adalah ia ingin melihat hidup Diki bahagia. Ia tak sanggup menyaksikan Diki harus bekerja menggantikan Bak menebang pohon di rimba. Betapa berat dan melelahkannya pekerjaan itu. Saban pagi sudah berangkat menerobos hutan dan menjelang petang baru pulang dengan bahu memikul papan.

Pekerjaan itu tidak cocok untuk anak seusianya dan Diki. Tulang belulang mereka masih sangat muda untuk memikul papan-papan itu. Ia takut pekerjaan itu akan berakibat buruk bagi perkembangan fisik Diki ke depannya.

Namun seperti biasanya, Rayan hanya mampu mengelus dada dan berdoa untuk keselamatan Diki. Bibirnya tak henti-henti mengulum doa agar disetiap langkahnya, Diki selalu diberi kemudahan dan kelancaran.

Sehari-dua hari Rayan masih bisa menahan perasaan sedihnya. Ia terus meyakinkan diri kalau Diki akan baik-baik saja. Ia tahu Diki orang yang kuat. Tapi setelah beberapa hari berlalu, Rayan mulai tak bisa mengontrol luapan rindunya. Ia tak bisa terus-terusn menahan perasaannya yang haus akan Diki. Ia merindukan semua yang ada pada Diki. Ia juga merindukan saat-saat mereka bercinta-menyatu raga. Ia juga merindukan tatapan, perkataan dan senyuman lembut yang selalu Diki tujukan padanya. Singkatnya, Rayan menginginkan hari-hari kebahagiaan mereka dulu kembali. Rayan tak bisa menunggu lebih lama. Meskipun hanya sejenak saja, ia ingin Bersama Diki. Ia ingin menyentuh wajah Diki. Ia ingin merasakan detak jantung Diki. Ia juga ingin memastikan bahwa Diki baik-baik saja.

Akhirnya Rayan mengirim pesan singkat ke nomor Diki. Ia meminta Diki datang ke rumah Neneknya malam ini. Rayan sengaja memilih malam hari sebab sudah dipastikan Diki tak punya waktu di siang hari. Pekerjaannya menebang kayu di hutan mengharuskannya berada di hutan seharian penuh.

Untung Diki bersedia memenuhi permintaan Rayan. Sehabis makan malam ia pamit pada Ibunya yang tengah mengaji untuk pergi ke rumah Rayan.

Rayan sangat gembira melihat kedatangan Diki. Pada awalnya ia pikir Diki tak akan datang. Sebab SMS yang ia kirim tidak mendapatkan balasan. Tetapi dugaannya itu langsung ditepis dengan hadirnya sosok Diki di hadapannya saat ini.

"Dik, masuk...!" ajak Rayan saat menangkap sikap Diki yang terlihat canggung.

Diki mengangguk.

"Sms-ku gak dibales. Aku pikir kamu sudah tidur." kata Rayan seraya menoleh ke Diki yang membuntutinya dari belakang.

"Belum kok."

Mereka berdua duduk bersebalahan di bibir ranjang.

"Kerja berat seharian, kamu pasti capek banget yah?"

Diki tertawa lirih. Getir.

Rayan langsung pindah ke belakang Diki. Setelah itu ia langsung memijat pundak Diki lembut.

"Gak perlu Yan..." tolak Diki.

"Sudahlah, gak usah nolak. Aku sangat senang melakukannya."

Diki langsung diam.

"Kamu jangan bekerja terlalu keras, Dik. Kasihan tubuh kamu diforsir berlebihan." pesan Rayan.

"Harus bagaimana lagi, Yan? Pekerjaanku ini memerlukan energi yang banyak dan begitu mengandalkan fisik."

Datang dan PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang