Bab I Confenssion

13.1K 539 17
                                    

"Aku minta maaf."

Niken menatap Heri dengan perasaan campur aduk. Kedua tangannya mengepal erat, menyalurkan segala kemarahan dan kesedihannya di sana.

"Sudah berapa lama?" tanya Niken, kepala menoleh kepada Iva, yang duduk di sebelah Heri, suami Niken.

Wajah Iva tenang bahkan cenderung menatapnya sinis. Kalau tidak ingat dosa, mungkin Niken sudah ingin menyayat-nyayat wajah cantik itu.

"Tidak penting sudah berapa lama ini terjadi, Ken. Yang pasti kami saling mencintai dan bicara baik-baik kepadamu untuk mengijinkan kami menikah," jawab Iva panjang lebar.

What? Meminta ijin menikah? Niken melirik asbak marmer yang bertengger manis di atas meja. Rasanya enak kalau buat menghantam kepada perempuan kurang ajar ini.

"Mas, kamu mau menikahi dia?"

Melihat sikap arogan Iva, Niken pun semakin marah. Dia hanya mengarahkan dagunya kepada Iva ketika bicara kepada suaminya itu.

Heri diam, seperti ragu untuk menjawab pertanyaan dari istrinya.

"Kami tidak minta kamu bercerai dari Mas Heri, Ken. Kami tahu ini tidak baik untuk anak-anak, makanya kami minta ijin untuk menikah," lagi-lagi Iva yang menjawab, mengambil alih sikap Heri yang susah untuk menjawab pertanyaan Niken.

Niken meradang.

"Lho memang kamu pikir, jika kalian menikah, anak-anak akan baik?" tanyanya pedas, tatapannya sudah ingin menerkam Iva. Kali ini, perempuan itu menciut nyalinya melihat tatapan amarah Niken.

"Setidak-tidaknya kami tidak berdosa," Iva menjawab dengan suara pelan, wajahnya menunduk menghindari konfrontasi mata dengan Niken.

"Lah memangnya kemarin itu namanya apa? Bukan dosa?" kejar Niken dengan suara lebih meninggi.

Iva dan Heri diam. Niken berdiri, mondar-mandir berjalan di depan keduanya, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda hatinya. Ruang tamu senyap untuk beberapa lama.

"Anak-anak kemana? Kog sepi?" keluar juga suara Heri, meski untuk bertanya hal lain di luar topik pembicaraan mereka.

Niken meliriknya dan memberi tatapan mengritik.

"Ini jam berapa? Mereka tidur! Makanya pulang ke rumah, jadi ayah yang baik dan suami yang baik, biar tahu keadaan anak istrimu," jawab Niken pedas.

Heri terdiam mendengar jawaban Niken. Kemudian melirik jam tangannya, pukul sepuluh. Dia tahu May dan Nay, kedua anaknya pasti sudah tidur pulas. Niken sangat disiplin mengatur anak-anaknya.

"Sorry, kalau tidak kuijinkan kalian untuk menikah, apa yang akan kalian lakukan?" tanya Niken kepada keduanya, mencoba menimbang dari kedua sisi.

"Ya berarti kamu harus siap untuk diceraikan oleh Mas Heri," lagi-lagi Iva yang mengambil alih untuk menjawab pertanyaan Niken.

Seketika Niken panik mendengar jawaban Iva. Meski malam ini dia marah besar dengan suaminya, tetapi tidak ada niat sedikitpun pada dirinya untuk minta cerai atau diceraikan.

"Siap diceraikan? Apa maksudmu?" langkah kaki Niken berhenti, berdiri tepat di hadapan Iva, jangkauan tangannya bisa mencekik leher Iva dengan mudah.

"Kalau kamu tidak memberi ijin artinya kamu menentang kami, berarti kamu siap bercerai dengan Mas Heri!" suara Iva meninggi meski ada nada kegugupan di sana. Dia mencoba menekan Niken. Hampir saja Iva ikut berdiri, tetapi tangan Heri menekan pahanya, memintanya untuk tetap duduk.

"Kenapa bukan kalian saja yang putus? Toh tidak ada ikatan legal diantara kalian?" Nikan membungkuknya sedikit punggungnya, membuat matanya sejajar dengan mata Iva, teman yang kini seketika menjadi musuhnya.

Revenge Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang